Jakarta, channelsatu.com: Mei tahun ini menyatukan banyak momentum penting. Pengusiran terhadap bangsa Palestina oleh rezim pendudukan Zionis-Israel telah berlangsung 72 tahun. Momen ini bertepatan dengan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam, sekaligus seruan Imam Khomeini kepada solidaritas bagi bangsa Palestina di Jumat terakhir Ramadhan, yang dikenal dengan sebutan Hari Internasional Al-Quds.
Pada tahun ini pula, warga dunia tengah menghadapi pandemi virus Corona, yang memaksa sebagian besar kita “terkurung” di rumah masing-masing.
Pada momentum ini, Komite Solidaritas Palestina Yaman (Kospy) menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut,
“Bagi kami, mengenang Nakba (‘bencana’ pengusiran etnis bangsa Palestina) bukan semata mengingat sejarah karena Nakba masih berlangsung hingga kini: Israel terus secara sistematis merampas dan menduduki tanah-tanah, menghancurkan masyarakat, menghapus identitas, dan menghilangkan eksistensi Palestina,” kata Ketua Kospy Musa Kazhim Alhabsyi dalam siaran persnya yang diterima channelsatu.com, Kamis (21/5/2020) kemarin.
Menurutnya, mengenang Nakba sebenarnya juga adalah memperingati perlawanan Palestina—dan manusia-manusia pecinta keadilan—atas kejahatan Zionis-Israel: Mengenang mereka yang gugur sebagai saksi di jalan keadilan; mereka yang dirampas hak-haknya; Mereka yang tangguh menanggung derita di jalan perjuangan; Dan mereka yang teguh melanjutkan perlawanan.
Untuk itu, diterangkan Musa, Kospy menolak “The Deal of Century” dan “Vision for Peace” yang dirancang oleh Amerika Serikat dan Israel plus negara-negara Arab. “Bukan hanya karena tak melibatkan perwakilan bangsa Palestina, keduanya tak lain adalah skema rezim pendudukan untuk melanjutkan dan memperluas penjajahan. Keduanya juga sama sekali tak menyentuh problem pokok hak asasi bangsa Palestina: (1) hak menentukan nasib sendiri; (2) hak pulang ke tanah air; (3) hak merdeka dari penjajahan,” jelas Musa lagi.
Ia menyatakan bahwa “The Deal of Century” dan “Vision for Peace” adalah bukti kuat kematian “solusi dua negara”. Negara Palestina yang digadang-gadang dalam “Vision for Peace” tak lebih daripada “bantustan” di mana Tepi Barat dikerat-kerat bak ghetto-ghetto dan dihubungkan dengan Jalur Gaza melalui terowongan bawah tanah.
Diterangkanya lebih jauh, tak akan ada kedaulatan dan integritas wilayah negara Palestina dalam “Vision for Peace”. Semua ini hanya akal-akalan Amerika dan Israel agar mereka terlihat “baik hati” dan menggambarkan bangsa Palestina yang tak mau menerima itu sebagai “orang-orang yang tak tahu terima kasih.”
Kospy mengakui bangsa Palestina sebagai penduduk pribumi Tanah Historis Palestina, tak peduli rezim politik apa yang berkuasa di sana ataupun agama apa yang mereka anut. Fakta ini diakui bahkan oleh sejarahwan awal Israel Abraham Polak (dalam The Origin of the Arabs of the Country) dan dua pendiri Israel David Ben-Gurion dan Yitzhak Ben-Zvi (dalam Eretz Israel). Mereka mengakui bahwa merekalah pendatang dan bangsa Palestina adalah keturunan penduduk lokal yang telah mendiami tanah itu berabad-abad lamanya.
“Karena itu, kami mendukung solusi “Referendum” bagi seluruh penduduk pribumi Tanah Historis Palestina untuk menyelesaikan penjajahan Zionis-Israel. Penduduk pribumi adalah mereka—dan anak-cucu mereka—yang masih tinggal di Tanah Historis Palestina yang berjumlah lebih daripada 6,5 juta jiwa maupun yang kini menjalani pengusiran di negara-negara lain yang berjumlah lebih daripada 7,5 juta jiwa. Mereka inilah yang berhak untuk pulang ke kampung halaman mereka meskipun kampung halaman mereka kini bernama “Israel”. Mereka pulalah yang berhak menentukan nasib mereka sendiri di atas Tanah Historis Palestina,” ucapnya.
“Kami menyerukan kepada warga dunia pecinta keadilan untuk memboikot segala aktivitas yang berhubungan dengan rezim pendudukan Zionis-Israel, baik secara politik, keamanan, maupun budaya, dan mendukung perlawanan bangsa Palestina dalam memperjuangkan hak-hak asasi mereka,” tegas Musa.
Maka KOSPY, menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan “solusi dua negara” yang sudah mati, hanya kedok bagi neokolonialisme, dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 1945 yang menentang penjajahan dan membela kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa.”(Ja)