Scroll untuk baca artikel
Film, Musik, TV

Festival Film Indonesia Dari Era Bung Karno Hingga SBY

5
×

Festival Film Indonesia Dari Era Bung Karno Hingga SBY

Sebarkan artikel ini

Jakarta, channelsatu.com: Tahun 2012 ini, Festival Film Indonesia kembali digelar. Acara puncaknya dilaksanakan di Yogyakarta pada 8 Desember kemarin. Pestanya orang film yang disingkat FFI ini, sesungguhnya telah dimulai tahun 1955.Yang menarik, sejak dimulai FFI ternyata selalu menimbulkan pro dan kontra.

Berikut jejak rekam FFI dari era Bung Karno hingga masa pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berhasil dirangkum:

1955 : Inilah pertamakali orang film melakukan hajat besarnya Festival Film Indonesia, dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasioal. kegiatan yang diprakasai oleh Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) ini, bertujuan sebagai penghargaan tertinggi bagu dunia perfilman Indonesia dan sekaligus jadi tolok-ukur peningkatan kualitas dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap film nasional.

Namun, dikegiatan FFI pertama ini pula langsung muncul pro dan kontra, ketika film “Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail yang difavoritkan para kritikus film ketika itu sebagai pemenang, tersingkir. Sebab Dewan Juri memutuskan pemenangnya adalah film “Tarmina” karya sutradara Lilik Sudjio.

1960 :Masih dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional, FFI kembali digelar. Sayang Usmar Ismail yang menghadirkan karya terbaiknya berjudul ‘Pejoang,’ harus kembali menerima pil pahit. Pasalnya, dewan juri dianggap kembali memberikan putusan kontroversi, dengan  memenangkan film ‘Turang’ besutan Bachtiar Siagian sebagai pemenangnya.

Kekalahan yang kedua kalinya bagi Usmar Ismail, tentu saja membuat dirinya kecewa hingga memutuskan untuk tidak ingin mengikut sertakan karya-karyanya di festival ini.

1966 mulai diberikan Piala Citra kepada pemenang penghargaan. Piala Citra yang dipergunakan hingga FFI 2007 itu merupakan hasil rancangan dari seniman patung (Alm) Sidharta. Ketika FFI yang semula diselenggarakan Yayasan Film Indonesia (YFI) diambil alih oleh pemerintah, tahun 1979, Piala Citra pun disahkan oleh Menteri Penerangan masa itu, yaitu Ali Murtopo.

Citra sendiri yang berarti ‘bayangan’ atau ‘image’ awalnya adalah sebuah sajak karya Usmar Ismail. Sajak ini kemudian dijadikan sebagai karya lagu oleh Cornel Simanjuntak. Berikutnya Usmar Ismail menjadikannya sebagai sebuah film. Dalam tradisi FFI, Citra kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.

Sebelumnya ada beberapa nama yang diusulkan untuk Piala ini yaitu:

Citra (Bayangan Wajah)
Mayarupa (Bayangan yang Terwujudkan)
Kumara (Cahaya Badan)
Wijayandaru (Cahaya Kemenangan)
Wijacipta (Kreasi Besar)
Prabangkara (Nama Ahli Sungging Majapahit)
Mpu Kanwa (Nama Sastrawan Majapahit)

1967 : Pekan Apresiasi Film Nasional atau FFI kembali digelar. Akan tetapi  kegiatan ini terhenti hingga berakhirnya kekuasaan Presiden  Republik Indonesia Bung Karno.

1973. Masuk Era Oder Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, tepatnya tahun 1973  FFI kembali digelar  dan terus dilakukan secara teratur. Kota-kota besar yang menjadi kantong penonton film nasional bergantian jadi tuan rumah. Diantaranya, mulai dari Jakarta,Palembang, Bandung, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang, dan Yogyakarta bergiliran menyelengarakan FFI.

1976  ketika FFI dilaksanakan di Bandung muncul dugaan korupsi yang digelontorkan aktor terkenal Dicky Zulkarnaen, hingga jadi isyu nasional namun tidak pernah muncul bukti secara hukum kepermukaan.

1977. FFI 1977 kembali bikin heboh ketika keputusan dewan juri tidak menetapkan film terbaik. Digambarkan juga suasana gedung bioskop Djakarta Teater ketika Ketua Dewan juri D. Djayakusumah jatuh pingsan saat membacakan keputusan tersebut yang akhirnya digantikan Rosihan Anwar.

Suasana panas ternyata bukan karena keputusan tersebut tapi yang melukai hati kalangan orang film, dengan tudingan Rosihan Anwar, yang mengatakan kalau produser film Indonesia umumnya, “Penjual Mimpi.”

1979. Di tahun ini mulai diperkenalkan sistem unggulan atau lebih populer disebut Nominasi.

1980. Di Semarang saat digelar FFI tahun itu, film ‘Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa,’yang disutradarai Arifin C. Noer yang difavoritkan menang diprotes wartawan dari Jakarta. Penyebabnya ijin produksi film ini adalah film dokumenter bukan film panjang, hingga menimbulkan mosi tidak percaya pada panitia.

beberapa bulan kemudian yang bikin heboh terbongkar oleh wartawan senior Yan Wijaya film Perempuan Dalam Pasungan yang disutradarai Ismail Subardjo yang terpilih sebagai film terbaik FFI ketika itu, ternyata film jiplakan dari film Mandarin berjudul ‘Perempuan Muda, 18 tahun Dikurung.

1982 yang kembali digelar di Jakarta. Tepatnya di Balai Sidang, Senayan Jakarta, Menpen Ali Murtopo yang malam itu mengundang Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah merasa dipermalukan tarian seronok di atas panggung yang disuguhkan panitia. Akibat kejadian itu Ali Murtopo nyaris menutup acara tersebut.

1984, ketika FFI digelar di Yogyakarta kisah lain datang. Menteri Haromoko kecele saat akan membacakan putusan juri, yang tidak menetapkan film terbaik. Anehnya  film nominasi sendiri ada  tapi ketika itu tidak ada yang menggugat. Namun dari kasus itu munculah aturan baru yang isinya, juri wajib memilih satu yang terbaik jika dari unggulan yang telah ditetapkan.

1992 FFI sempat terhenti pelaksaannya

2004.Setelah 13 tahun film nasional mati suri, baru tahun 2004 FFI kembali digelar.  Di masa perkembangannya FFI juga memberikan penghargaan pila Vidia untuk film televisi.

2006 FFI kembali ricuh ketika muncul protes dari generasi muda terhadap keputusan juri yang menobatkan ‘Ekskul’ sebagai Film Terbaik. Padahal film itu dituduh melakukan pelanggaran hak cipta music score. Klimaks dari aksi protes itu, puluhan sineas muda mengembalikan Piala Citra FFI ke kantor menteri.

“Bagaimanapun pahitnya saya menerima itu sebagai pelajaran berharga. Saya yang ingin membangkitkan film tapi malah menghadapi protes itu. Tapi tidak apa. Yang penting, kita semua sepakat melanjutkan perjuangan memajukan film Indonesia,” ungkapnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada media yang diera pemerintahan SBY kembali coba membangkitkan film nasional.

2008  FFI mulai digunakan Piala Citra bentuk baru. Sejumlah seniman seni rupa dan seni patung bekerja membuat rancangan Piala Citra dengan memodifikasi desain Piala Citra yang terwujud selama ini yaitu Heru S. Sudjarwo, S.Sn (Kordinator), Prof. Drs. Yusuf Affendi MA, Drs. H. Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo dan Bambang Noorcahyo, S.Sn.[2] Rancangan baru ini akan menjadi simbol bagi semangat baru penyelenggaraan FFI.

2010 ketika FFI digelar, muncul berita heboh lagi ketika film Sang Pencerah karya sutradara Hanung Baramtnyo tak lolos nominasi. Yang heboh lagi ada kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan seorang artis yang ikut hadir di Batam jelang nominasi pada seorang wanita, yang diduga pengemarnya. (dari berbagai sumber/ibra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *