Jakarta, channelsatu.com: Tanggal 23 July ini, anak-anak Indonesia akan merayakan hari besarnya yang lebih dikenal dengan nama Hari Anak Nasional. Hari itu seharusnya jadi hari yang membahagiakan buat anak-anak kita yang kelak akan jadi generasi penerus negeri ini.
Namun, kabar memprihatinkan muncul diberbagai media saat ini, adanya seorang bocah berusia 14 tahun jadi pembunuh bayaran. Sedih dan miris tentunya melihat perisitiwa ini. Ternyata kekerasan yang menyangkut anak-nak di negeri ini faktanya masih tinggi kalau diselusuri.
Lihatlah hasil survey Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di 9 Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Lampung, Jambi, Sumbar, Kaltim, DIY) terhadap 1026 anak, ditemukan bahwa 91 % mengalami kekerasan di keluarga, 87,6% mengalami kekerasan di sekolah dan 78,3% anak sebagai pelaku kekerasan. Di lingkungan sekolah 66,5% anak pernah mendapatkan kekerasan dari guru, 74,8 %, dari teman sekelas dan 56,3% dari teman lain kelas.
“Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional (HAN) 2012, dengan kondisi seperti ini, tentu saja saya merasa prihatin terhadap masalah anak di Indonesia,’ ungkap mantan Ketua KPAI, Ir. Dra. Giwo Rubianto, M.Pd yang hingga kini tetap konsen terhadap perkembangan dunia anak dan wanita pada channelsatu.com.
Lebih jauh menurut Giwo, yang perlu diperhatikan bagi semua pihak bahwa saat ini belum ada batasan yang kongkrit tentang kekerasan terhadap anak, sehingga persepsi tentang kekerasan anak cukup variatif.
“Dari bebagai hasil penelitian, faktor budaya cenderung menjadi akar kekerasan terhadap anak yang melembaga di keluarga, sekolah dan masyarakat ” ucapnya mengapa hal ini bisa terjadi terhadap anak-anak..
Ditambah lagi dijelaskan Giwo, persepsi para penyelenggara perlindungan anak terkait batas usia anak, kelembagaan, penganggaran, perlindungan hukum dan penanganan masalah kekerasan anak masih minim.
“Belum ada regulasi yang bersifat imperatif yang dapat menjadi daya ungkit Pengarusutamaan anak (PUA) sebagai strategi di level nasional,” paparnya.
Selain itu, katanya lagi, ketersediaan regulasi daerah terkait perlindungan anak, belum sepenuhnya diikuti oleh dukungan anggaran, ketersediaan sistem kerja kelembagaan, mekanisme penanganan kasus kekerasan serta dukungan SDM yang memadai.
Akibatnya ego sektoralisme masih terjadi di mayoritas daerah, dan ini dijelaskan Giwo, bisa berpotensi menghambat efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di daerah.
“Ditambah lagi jabar Giwo, advokasi anggaran yang berpihak kepada perlindungan anak masih belum menjadi isu gerakan advokasi karena keterbatasan kapasitas dan kurangnya sinergi antara pelaku advokasi anggaran dengan pelaku advokasi pemenuhan hak-hak anak.
Ia juga mengritik, level eselonisasi pemerintah daerah yang menangani perlindungan anak masih rendah.
“Lalu lemahnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program di antara SKPD khususnya terkait promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam penanganan masalah kekerasan anak. Mayoritas SKPD belum memiliki kebijakan khusus tentang kekerasan terhadap anak yang mengacu kepada UU Perlindungan Ana,” sorot Giwo lantang..
Untuk itu, Giwo merekomendasikan beberapa hal yang perlu dan dapat ditindaklanjuti diantaranya:
1. Perlu diterbitkannya Inpres Perlindungan Anak yang imperatif agar pengarusutamaan hak ajak terwujud secara nasional.
2. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu peningkatan kualitas dan cakupan sosialisasi dan advokasi kepada pejabat SKPD dan stakeholders penyelenggara perlindungan anak dari kekerasan.
3.Perlu sosialisasi secara masif tentang batasan kekerasan terhadap anak melalui berbagai pendekatan termasuk pendekatan budaya untuk menghapus kultur kekerasan terhadap anak yang melembaga di keluarga, sekolah dan masyarakat.
4.Peningkatan eselonisasi pejabat daerah khusus yang menangani urusan perlindungan anak serta perlu tersedianya unit khusus perlindungan anak dari kekerasan dalam organ kelembagaan pemerintah daerah.
5.Pemerintah daerah perlu menyusun panduan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada perlindungan anak sebagai bahan acuan bagi para perancana dan penyusun anggarann baik di pusat maupun daerah.
6.Meningkatkan kapasitas para perencana dan penyusun anggaran melalui pelatihan, sharing pengalaman maupun pendampingan untuk dapat menyusun rencana kerja dan rencana anggaran yang berpihak kepada perlindungan anak.
7.Membangun gerakan advokasi pencegahan kekerasan terhadap anak melalui pembentukan jaringan kerja multi stakeholder, menyusun rencana aksi bersama dan berbagi peran dalam pelaksanannya.
8.Meningkatkan kapasitas CSO untuk melakukan analisis dan advokasi kekerasan terhadap anak.
9.Perlu advokasi untuk peningkatan sensitivitas anggota legislative terhadap perlindungan anak dari kekerasan melalui seminar,workshop, diskusi, dan pemberian informasi.
Begitu butiran usulan Giwo untuk melindungi nasib-anak-anak Indonesia, yang disebutnya Indonesia kini tengah mengalami Darurat kekerasan Anak. (Ibra)