Jakarta, channelsatu.com: Besok Jumat (18 Maret 2016), tepat 100 tahun sensor film Indonesia. Kebijakan sensor film sendiri di Indonesia sudah ada sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda, diawali penetapan Ordonansi Film Tahun 1916 {Film Ordononntie 1916), Staatblad van Nederland Indie Nomor 276 tanggal 18 Maret 1916.
Sensor film terus berlaku hingga masuk jaman kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Tepatnya seperti yang dijabarkan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Ahmad Yani Basuki di depan wartawan,Rabu (16/3/2016) kemarin di Jakarta, tercatat setidaknya ada 6 priode masa Sensor Film yang menggambarkan dinamika keberadaan dan sekaligus tantangan yang dihadapi lembagai ini dari masa ke masa.
“Yaitu: 1.Sensor masa kolonial Belanda, 2. Sensor Film (Masa penjajahan Jepang) tahun 1942-1945. 3. Sensor Film Masa Peralihan 1945-1950, 4. Sensor Masa Panitia pengawas Film (1950-1966), 5. Sensor Film Masa Badan Sensor Film (1966-1992), 6. Sensor Film Masa Lembaga Sensor Film (1992- sekarang),” terang Yani.
Yani menyadari meskipun pro kontra pandangan terhadap eksistensi lembaga sensor film ini sering muncul secara dinamis. Namun menurutnya,fakta sejarah menunjukan lembaga ini senantiasa mampu menjawab tantangan dan tuntutan yang ada dengan senantiasa melakukan reorientasi menuju bentuknya yang ideal sesuai harapan masyarakat pada masanya.
“Oleh karena itu pula bagi kami memontum Peringatan 100 Tahun Sensor Film Indonesia ini, juga bernilai penting untuk kami manfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana konsolidasi Lembaga Sensor Film priode 2015-2019,” Kata Yani.
Lebih jauh dijelaskan oleh Yani, LSF yang kini dipimpimnya tak ingin disebut sebagai tukang potong film. Karena seperti yang dijelaskan Yani,
“Saat ini di LSF ada perubahan kultural, dimana dalam pelaksanaannya penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialogis dengan pemilik film dan iklan film yang disensor LSF. Ke depannya tentunya kami ingin jauh dari posisi atau kesan sebagai tukang potong film. Karena sekarang sekiranya ada revisi terhadap film dan iklan film yang disensor pun, perbaikannya dikembalikan pada pemilik film dan iklan film tersebut,” lanjutnya.
Terkait peringatan 100 tahun Lembaga Sensor Film, Yani mengajak masyarakat untuk berperan aktif, sesuai tema yang yang dicanangkan, yaitu, “Masyarakat Sensor Mandiri, Wujud Kepribadian Bangsa.”
“Melalui tema ini kami menegaskan, mengingatkan dan sekaligus mengajak pada masyarakat tentang betapa pentingnya membangun budaya sensor mandiri. Karena ini sebagai cermin keteguhan kepribadian b angsa kita. Yaitu kepribadian bangsa Indonesia yang dibangun berlandaskan Pancasila, Undang Undang dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tutur Yani.
Lengkapnya langkah yang dilakukan LSF disambungkan juru bicara LSF, Rommy Febry, diarahkan untuk:
1. Menyertai masyarakat mewujudkan sensor film mandiri.
2. Mengajak produser, penulis skenario, segenap insan perfilman untuk mengangkat tema-tema penceritaan yang bernuansa Indonesia.
3. LSF dengan paradigma baru yang mengutamakan proses dialog sebagai proses pengambian keputusan.
4. Memberikan pelayanan yang cepat dan mulai tahun 2016 LSF akan membuka perwakilan di beberapa propinsi dalam bentuk perwakilan.
Selain pencanangan Sensor Mandiri, dalam rangka 100 tahun Sensor Film dengan mengusung paradigma baru, akan dilakukan berbagai event sepanjang tahun ini.
Diantaranya program yang akan dilakukan LSF itu seperti yang dipaparkan Ketua Pelaksana Dyah Citraria Liestyati, adalah: Mengenalkan logo 100 tahun Sensor film, pembuatan buku Bunga Rampai 100 Tahun Sensor film, Diskusi dan workshop dan berbagai kegiatan lainnya di beberapa kota. (Ibra)