Jakarta, channelsatu.com: Akhir Mei 2013, film bertajuk Sang Kiai yang disutradarai Rako Prijanto, dan diproduksi Rapi Films, secara serentak main di gedung bioskop seluruh Indonesia. Terus terang saya menantikan film tersebut untuk segera menontonnya, lantaran Sunil Samtani produser sudah menceritakan keinginan membuat film riwayat tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) , KH Hasyim Asy’ari, sejak tiga tahun lalu.
Keinginan Sunil Samtami itu dapat dimengerti serta bisa dipahami. Sebab, pada saat itu publik ramai membicarakan film berjudul Sang Pencerah , tentang secuplik biografi KH Ahmad Dahlan , pendiri Muhammadiyah. Tentu saja, Sunil Samtani juga mengendus dari sisi komersial, jika film mengenai KH Hasyim Asy’ari dibuat, pastilah warga NU – yang jumlahnya jutaan bakal menyaksikan.
Saya pun menyatakan salut tentang impian Sunil Samtani – jika betul – betul mewujudkan. Lantas dia menyebutkan siapa yang bakal menyutradarai, dan sang sutradara yang disebut itu, menurut Sunil Samtani, sudah mengajukan proposal . “Tinggal mematangkan konsepnya saja, apakah film yang akan dibikin merupakan kisah riwayat hidup? Makanya, hal itulah yang perlu didiskusikan,“ katanya.
Sunil Samtani mengakui bahwa membuat film KH. Hasyim Asy’ari adalah pertaruhan. Termasuk menyangkut biaya produksi. Dia menghitung dana yang dikeluarkan bisa-bisa mencapai sepuluh miliar rupiah. Kenyataan demikian. Angka sebesar itu berarti rekor yang pernah digelontorkan perusahaan Rapi Film untuk sebuah karya film.
Singkatnya Sunil Samtani sibuk dengan proyek film KH. Hasyim Asy’ari. Terlihat dia dan Gope T. Samtani-ayah Sunil, pergi ke Jombang dan bertemu pengurus NU untuk meminta persetujuan. Tentu segala sesuatunya bergulir lancar, sampai saya, Sunil bertemu dengan Rako Prijanto di kantor Rapi Films.
Rako Prijanto yang kerap bekerja sama (D’ Bijis dan Merah Itu Cinta) dengan Rapi Films menuturkan penuh semangat perihal gagasannya dalam menyutradarai KH. Hasyim As’ari ini.
“Akan jadi panjang untuk menceritakan riwayat hidup KH. Hasyim Asy’ari. Mungkin menjadi berjilid-jilid. Tapi saya lebih tertarik menampilkan riwayat ulama besar itu pada masa penjajahan, sekitar tahun 1942-1947. Lebih fokus, “ uja Rako Prijanto.
Kiranya begitulah. Memang untuk menampilkan kisah hidup ulama kharismatik dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, tentu akan menguras tenaga, teristimewa dibutuhkan riset yang mendalam (karena banyak riwayat yang tidak tercatat), supaya bisa menghadirkan sosok ulama KH. Hasyim Asy’ari secara cermat dan utuh. Imbas dari semuanya ialah persiapan yang mesti panjang, harus matang, serta diperlukan dana yang sangat besar.
Bagaimanapun Rapi Films akan menimbang-nimbang apabila memfilmkan kisah hidup KH. Hasyim Asy’ari, dari kelahiran sampai akhir hayat. Bagaimanapun pula diperlukan penggalan suatu periode tertentu untuk mengetengahkan riwayat hidup sang ulama itu, agar penuturannya tidak bertele-tele. Mengingat tidaklah diiingkari betapa sejarah tidak pernah kering untuk dijadikan latar cerita, termasuk dijadikan karya film. Semua orang pun menyadari bahwa sejarah adalah kepingan peristiwa maupun kenangan masa lalu. Masalahnya apakah hal tersebut memiliki makna dan nilai penting.
Sesungguhnya itulah tugas serta tantangan yang diemban Rako Prijanto, memilah kepingan yang terserak dalam kehidupan KH. Hasyim Asy’ari, dan menyuguhkan kenangan masa lalu sang kiai ( dijadikan judul film) secara jernih – sehingga tidak menjadi distorsi. Bagi Rako Prijanto – saya kira- proyek film tentang KH. Hasyim Asy’ari boleh dibilang pretensius. Sebagai pekerja film Rako Priyanto termasuk sutradara cekatan, berbagai genre sudah ditangani, tetapi hampir semua film yang dibesutnya tidak banyak meletupkan atau menggoreskan greget nilai alias mengalir saja.
Di satu sisi, jika film Sang Kiai yang mengambil setting antara tahun 1942-1945, tidak dipungiri bisa menjadi film yang penuh arti. Akan dicatat dengan tinta tebal. Apalagi pada periode itu riwayat perjalanan hidup KH. Hasyim Asy’ari punya peranan penting dan paling berpengaruh pada masa penjajahan – teristimewa mendorong kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dalam perjalanan hidup KH. Hasyim Asy’ari, tertoreh peristiwa yang menggugah masyarakat, yakni pada 21 Oktober 1945, berkumpullah para kiai se Jawa dan Madura di kantor ANNO, Jalan Bubutan VI / 2. Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan sebuah seruan jihad if sabililah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jikad.
Resolusi Jihad telah menggerakkan perang paling kolosal yang pernah ada dalam sejarah Nusantara yang kemudian terkenal dengan peristiwa 10 November 1945. Peristiwa itu tidak dilupakan. Namun mencuatkan pertanyaan-pertanyaan, mengapa Resolusi Jika tidak pernah terekam dalam lembarah sejarah bangsa Indonesia?
Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia –NKRI tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim atau lebih tepatnya kaum santri. Sejarah sepertinya tidak mengajarkan atau mengenalkan Resolusi Jihad yang dikomandoi KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa wajib bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bagaimana dengan film Sang Kiai – semula bertajuk Maha Kiai ? Saya ingin sekali menontonnya. Saya berharap bukan film hiburan semata. Kendati film ini memadukan unsur drama, perang dan dakwah. Tak bisa ditampik film Sang Kiai memang punya semangat menggugah dan mengingatkan masyarakat Indonesia terhadap pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dan kiranya soal itulah yang layak dihargai. (Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis dan pemerhati film)