Jakarta, Channelsatu.com – Kebudayaan lagi mendapat angin. “Pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya mampu mewujudkan seni dan budaya sebagai hak asasi yang sejajar dengan hak politik dan ekonomi,” ujar DR Garin Nugroho dalam pidato kebudayaan ‘Balas Budi untuk Rakyat’ di Graha Bhakti Budaya, TIM, Minggu (10/11).
“Hak atas budaya dan seni merupakan hak dasar masyarakat sipil yang wajib didukung, dikembangkan, dilindungi dan diberi ruang untuk tumbuh subur dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa,” sambung Garin.
Dikatakannya, ada tujuh pesan penting untuk Presiden Prabowo terkait strategi mengembangkan kebudayaan di Indonesia. “Kepemimpinan Prabowo wajib mewujudkan beragam strategi ekonomi dengan kebijakan politik yang didukung perlindungan hukum untuk memfasilitasi, melindungi, merawat dan menumbuhkan proses pemajuan kualitas, kreasi dan apresiasi seni dan budaya dalam ekosistem yang sehat dan produktif, baik institusi, daya hidup pars profesional, komunitas maupun pendidikan,” terang Garin.
Garin mengungkapkan, sejarah mencatat bahwa pada setiap era revolusi teknologi 1.0 hingga 4.0, Indonesia selalu gagal menangkap momentum untuk melakukan lompatan peradaban baru.
Untuk itu, ujarnya, sebagai bentuk balas budi kepada rakyat, Pemerintahan Prabowo perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0 guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.
Di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo di era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggaraan negara. “Kenapa? Karena negara tak dikelola sebagai pemerintahan, tetapi selayaknya organisasi hiburan berbasis digital yang disertai ambisi kekuasaan politik dan ekonomi yang banal,” ujarnya.
Garin juga mengajak untuk belajar dari tumbuh kembangnya industri kreatif seperti drama Korea (drakor). “Gelombang ini tak dibangun dengan langsung membidik pasar massa, melainkan dibuat dengan membangun sumber daya manusia unggul, dengan profesionalisme yang matang dan mumpuni, dan strategi untuk menumbuhkan selera pasar,” katanya.
Di bagian lain, Garin mengingatkan pelajaran dari sejarah ketika diramalkan bahwa para pemimpin Nusantara yang tak mumpuni dalam menghadapi perubahan zaman apa pun hanyalah akan menjadi mandor dari korporasi besar yang mengincar sumber daya alam Indonesia dan sumber daya tenaga kerja warga Indonesia.
“Guna menjaga pamor agar tak terlihat sebagai mandor, para pemimpin tersebut kerap mengulang pencitraan gaya Raja Jawa, meski kejam dan mengekploitasi rakyat untuk kepentingan diri, keluarga dan oligarki, tetapi tetap terlihat populer.
“Padahal, sesungguhnya kapasitas mereka hanya mampu menjadi mandor bagi korporasi,” tegas Garin.
Diuraikannya, fenomena pemimpin sebagai ‘mandor korporasi’ dalam sejarah Nusantara terus terulang dan menjadi sebutan seloroh, seperti ungkapan ‘bangsa kuli dengan mental penjajah dan ‘politikus mandor’.
“Fenomena ini juga ditujukan pada 10 tahun pemerintahan Joko Widodo dan oligarkinya,” ucap Garin lagi mengakhiri pidato kebudayaan yang dihelat oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Jelas, upaya memperdengarkan suara jernih yang membawa gagasan bernas dan aktual serta mengupas dan mengkritisi dengan pemikiran-pemikiran segar melalui perspektif budaya.
Sebelumnya, tokoh-tokoh terpilih yang pernah berpidato kebudayaan di TIM diantaranya Umar Khayam, BJ Habibie, Rendra, Todung Mulya Lubis, Rocky Gerung, Amien Rais, Karlina Supeli, Emil Salim, William Wongso dan banyak lagi yang lain. (Tyo)