Jakarta, channelsatu.com: Besaran pajak tontonan (PTo) yang bervariasi ditetapkan pemerintah daerah antara 10 % hingga 30 %, justru akan menghambat pertumbuhan bioskop di Tanah Air. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafrudin, SH dan Direktur Operasional Grup Twenty One (XXI) Jimmy Haryanto, disela acara Halal Bihalal dengan wartawan film, di sebuah rumah makan di Plaza Kuningan Jakarta, Rabu (19/6/2019) malam.
Menurut keduanya jika hal ini dibiarkan, tidak saja menghambat pertumbuhan bioskop juga dengan sendirinya akan memukul industri film nasional. Dipaparkan Djonny, selama ini banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang menerapkan PTo berdasarkan pajak hiburan, sehingga nilainya cukup besar. PTo disamakan dengan pajak karaoke, diskotik, atau tempat-tempat hiburan lainnya. Padahal film yang ditayangkan bioskop tidak semata-mata berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga memiliki fungsi komunikasi dan pendidikan.
Lebih jauh Jimmy menerangkan, besarnya pajak bioskop antara satu daerah dengan daerah lain terasa janggal karena berbeda-beda. Ada bioskop yang jaraknya berdekatan, tetapi pajaknya berbeda jauh. “Contohnya antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Di Kota Bekasi pajaknya 10 %, tetapi di Kabupaten Bekasi, 30 %. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Begitu juga antara Cirebon dan Plered yang jaraknya berdekatan. Di Cirebon 10 % di Plered 25 %,” kata Jimmy.
“Karena nilainya yang berbeda jauh padahal bioskopnya berdekatan, maka produser kadang tidak mau filmnya diputar di daerah yang pajaknya besar. Nah kalau sudah begitu siapa yang rugi? Kan daerahnya sendiri karena tidak ada pemasukan! Itu yang saya jelaskan kepada pemerintah daerah,” sambung Jimmy.
Sebetulnya dijelaskan Jimmy, banyak permintaan dari daerah kepada Grup 21 untuk mendirikan bioskop. Tetapi besarnya tarif pajak yang ditentukan daerah menjadi pertimbangan tersendiri. “Jadi strategi kita sekarang, sebelum mendirikan bioskop kita berunding dulu dengan pemerintah daerah, kita jelaskan untung ruginya penentuan pajak bagi daerah itu sendiri. Kami bersyukur sudah banyak daerah yang memahami,” ujarnya.
Selain soal pajak yang cukup memberatkan, pihak bioskop juga merasa berjuang sendiri untuk menjalani usaha bioskop. Mereka ingin para produser juga turut peduli memperjuangan PTo. “Maunya kami para produser film juga turut berjuang bersama soal pajak bioskop. Sementara ini kami jalan sendiri. Ibaratnya menjalankan roda usaha bioskop seperti anak kost, kalau
ada apa-apa resiko sendiri,” keluh Djonny.
“Memang tidak salah juga Pemdanya, karena ketika pajak hiburan ditetapkan, bioskop belum ada di daerahnya. Tetapi ketika ada bioskop, seharusnya Pemda juga membuat klasifikasi. Jadi jangan semata-mata dilihat untuk kepentingan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi berdirinya bioskop di sebuah daerah, akan memiliki dampak yang sangat besar bagi daerah itu sendiri,” dalih Djonny.
Untuk itu, Djonny berharap besaran pajak bioskop ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga tidak berbeda-beda di setiap daerah. (Ibra)