Tanggal 22 Desember ini, seperti kita tahu semua adalah Hari Ibu. Bagi saya ini saat yang tepat bagi kaum perempuan Indonesia menjadi momentum untuk meneguhkan semangat kita untuk memperkuat kualitas perempuan di zaman arus global yang penuh tantangan, rawan erosi moral dan syarat dengan gaya hidup materialistis ini.
Kita ambil contoh dan jadi pelajaran dari perempuan, misalnya dengan munculnya kasus Aceng Fikri Bupati Garut yang menikahi anak usia dibawah 18 tahun dengan berbagai dalih yang melatar belakanginya. Hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan belum sepenuhnya aman dan bebas dari perlakuan salah/eksploitasi dari orang dewasa.
Secara prinsip kasus perkawinan singkat Aceng-Okta tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak anak dan pelanggaran UU Perkawinan. Tetapi idealnya perempuan tidak hanya melihat kasus tersebut dari perspektif hukum semata. Akan tetapi perlu sebagai bahan evaluasi diri bagi kaum perempuan di Indonesia bahwa semua perempuan harus berkualitas, sehingga tidak mudah dibujuk, dirayu, ditipu muslihat untuk kepentingan sesaat dari pihak lain. Karena dampaknya berantai dan tak berujung.
Nikah sirri, sering menjadi kedok dari oknum pejabat negara untuk kepentingan jangka pendek. Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) setiap bulan kini tercatat ada 4 pernikahan siri dilakukan oleh pejabat. Nikah siri belakangan sudah menjadi trend pejabat namun masalahnya sulit teruangkap ke public, sehingga tidak terdata.
Dalam konteks Indonesia, perkawinan pejabat negara yang berkedok nikah sirri dilatarbelakangi oleh banyak hal, di antaranya; sebagian besar oknum pejabat pelaku diduga kuat memiliki niat untuk kepentingan jangka pendek (seperti; kepentingan biologis, dan lain-lain).
sementara pihak perempuan yang dinikahi/keluarga perempuan dilatarbelakangi oleh faktor: pemahaman terhadap aturan perkawinan masih minim, pemahaman atas konsep nikah yang sempit,
faktor ekonomi sehingga tertarik untuk menikah dengan pejabat untuk niatan memperbaiki taraf kehidupannya, faktor gengsi sosial yang merasa bahwa nikah dengan pejabat akan menaikkan kelas sosial, serta faktor dorongan tokoh lokal yang berkepentingan. Di lain pihak perempuan merasa tak berdaya untuk mengatakan tidak.
Disisi lain, trend gaya hidup perempuan dewasa ini cukup mengkhawatirkan. Karena terdapat kecenderungan bahwa gaya hidup mewah telah menjadi pilihan hidup, daripada meningkatkan kualitas diri yang haus ilmu, haus belajar, haus berperan kepada hal-hal yang positif.
Faktanya, masih banyak perempuan justru haus bergaya hidup trendy, berganti-ganti baju/pakaian daripada melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Jika kondisi tersebut dibiarkan tentu akan menjadi beban bangsa ke depan. Karena perempuan sebagai pilar pembangunan, justru tidak berperan sebagaimana yang seharusnya, tetapi sekedar sebagai penikmat yang pasif.
Dalam hal terkait perkawinan di bawah umur, Hasil Riset Indonesia Research Foundation tahun 2011 terdapat beberapa faktor tradisi perkawinan dini yang berkembang di masyarakat, dipengaruhi oleh:
Pertama, Persepsi Syarat Perkawinan. Menurut sebagian besar pelaku, asalkan sudah baligh dan syarat perkawinan sudah terpenuhi, perkawinan dapat dilangsungkan.
Kedua, persepsi terhadap rezeki. Terkait dengan rezeki, menurut pelaku, urusan rezeki, dan mati itu urusan Allah, manusia tidak bisa menentukan, sehingga kalaupun sudah memenuhi syarat formal menikah, menikah saja.
Ketiga, persepsi Tentang Usia Perkawinan. Ketika anak tidak melanjutkan sekolah, pilihan terakhir adalah menikah. Tanpa memperhitungkan usianya berapa.
Keempat, persepsi urutan perkawinan berdasarkan Jenis Kelamin. Perempuan idealnya menikah dahulu, karena dikhawatirkan lama mendapat jodoh.
Kelima, Persepsi Untuk Mengurangi Beban Ekonomi Keluarga. Di tengah perekonomian yang belum bersahabat, bagi keluarga miskin, perkawinan tidak jarang dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi. Perkawinan dianggap sebagai jurus mujarab ketika keluarga dilanda oleh kemiskinan yang tak berkesudahan.
Keenam, persepsi terhadap lamaran. Ketika anak laki-laki yang melamar, maka perempuan pantang menolak, karena khawatir menjauhkan dari jodoh di kemudian hari.
Momentum hari Ibu, menurut saya harus dijadikan cambuk bagi semua perempuan tanpa memandang umur untuk bangkit tanpa mengenal lelah. Karena kebangkitan perempuan juga akan menjadi anatomi kebangkitan bangsa Indonesia ke depan.
Tawaran Solusi
Menindak tegas termasuk memidanakan oknum pejabat pelaku perkawinan sirri, apalagi dengan anak di bawah usia 18 tahun. Karena telah melanggar hukum secara berlapis.
Pemberdayaan ekonomi warga miskin secara terintegrasi baik aspek ekonomi, pendidikan, dan lain-lain agar tidak terjebak dengan tipu muslihat perkawinan yang berkedok agama atau kepentingan sesaat.
Pencegahan perkawinan sirri dan perkawinan dini melalui kebijakan yang tegas dan terukur.
Mendekatkan masyarakat dari akses informasi dan edukasi terkait pencegahan perkawinan sirri dan di bawah umur. (Ir. Dra. Giwo Rubianto, M.Pd. Penulis Adalah Pemerhati dan Peduli Anak dan Perempuan Indonesia)