Jakarta, channelsatu.com: Selama ini, kita, masyarakat perfilman dan penggemar maupun pencinta film mengimpikan adanya festival film berskala internasional yang bersifat kompetisi di Indonesia. Di Indonesia, menurut Wina Armada, pengamat film, ketika melakukan dengar pendapat dengan pemangku kepentingan perfilman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akhir November 2016, ada 30 festival film baik yang diselenggarakan pihak swasta serta pemerintah.
Dari 30 festival film itu, festival film tertua di Indonesia, yakni Festival Film Indonesia alias FFI, makin tidak jelas visi-misinya. Setidaknya setiap tahun diselenggarakan, FFI yang sarat dengan kepentingan, selalu menorehkan silang pendapat sehingga seringkali menuai kecaman.
Impian terhadap adanya festival film internasional yang bersifat kompetisi di Indonesia itu, paling tidak, terjawab pada peristiwa Jogya-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang pada tahun 2016 memasuki kesebelas kali penyelenggaraannya dan selalu pula digelar di kota Yogyakarta.
Untuk tahun 2016, JAFF bertema Islandscape. Tema ini sengaja dipilih sekaligus menggarisbawahi tidak hanya keragaman ungkapan arstistik dan representasi budaya dalam sinema Asia, tapi juga sebentuk tanda bagi pertukaran dan silang pengaruh budaya sinema di kawasan Asia.
Tepat sekali jika film bertajuk Salawaku (produksi 2016) karya Pritagita Arianegara dijadikan film pembuka. “Karena merefleksikan secara pas tema Islandscape yang menjadikan wilayah kepulauan sebagai ilham kreatif serta mampu mempresentasikan kepulauan sebagai ruang bagi pembuat film yang mempertautkan dan memiliki latar budaya berbeda, “ ujar Direktur JAFF Budi Iriwanto.
JAFF 2016 yang diselenggarakan pada 28 November-3 Desember 2016 tidak diingkari menjadikan festival bergengsi. Untuk tahun ini memutar 138 judul film dari 27 negara yang tersebar di kawasan Asia Pasifik. Ya, tahun ini JAFF pun sudah menjangkau wilayah Asia Pasifik.
Film Indonesia yang diputar di JAFF total sebanyak 60 film, terdiri dari 16 film panjang dan 44 film pendek. Ada 6 penghargaan yang dihadirkan JAFF dengan juri yang berbeda, yaitu penghargaan Golden Hanoman Award, penghargaan pada film Asia terbaik pertama, Silver Hanoman Award, penghargaan pada film Asia terbaik kedua. Juri kedua penghargaan ini adalah Eko Nugroho, Riri Riza dan Kim Jong Kwan dari Korea Selatan.
Empat penghargaan NETPAC Aaward, diberikan oleh Network for the Promotion of Asia Cinema (NETPAC), sebagai bentuk apresiasi pada karya sutradara Asia yang memberikan kontribusi sinematik yang dinilai penting bagi gerakan sinema baru Asia Pasifik. Lantas penghargaan Geber Award, penghargaan film Asia Pasifik terbaik diberikan oleh komunitas film dari berbagai kota di Indonesia.
Lima dan enam penghargaan Blencong Award dan Jogja Student Film Award. Blencong Award diberikan juri bagi film pendek Asia Pasifik terbaik dari Program Light of Asia, sedang Jogya Student Film Award penghargaan dari Jogya Film Academy yang bekerjasama dengan Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Penghargaan ini dipilih oleh murid sekolah film di Yogyakarta.
Peraih JAFF 2016 untuk kategori Golden Hanoman Arward ialah film Istirahatlah Kata-kata karya Yosep Anggi Noen (Indonesia), Silver Hanoman Award : The Islan Funeral (sutradara Pimpaka Towira, Thailand), NETPAC Award : Turah (karya Wicaksono Wisnu Legowo, Indonesia), Geber Award: Turah, Blencong Award : Memoria (Karmila Andini, Indonesia), dan penghargaan Jogja Student Fulm Award : Memoria.
Kenapa Istirahatlah Kata-kata sebagai film terbaik JAAF 2016? Menurut ketiga juri, Riri Riza, Eko Nugroho dan Kim Jong Kwan, “Lantaran film itu menampilkan kisah tokoh reformasi 1988 yang berhasil disajikan dalam sudut pandang kemanusiaan, mencekam tajam, subtil dengan humor dan keharuan. Dan sungguh sebuah pencapaian teknis sinema yang mengejutkan.“
Selama enam hari festival berlangsung, JAFF 2016 dikunjungi alias ditonton sebanyak 8000 penonton. Dan ditutup dengan pemutaran sebuah film dari Kyrgyzstan karya Nurlan Abdykadyrov bertajuk Travelling With Bomb, produksi tahun 2016. Film yang bertutur tentang seorang mahasiswa dari Kazakhstan yang membawa istrinya ke Kirgistan.
Mahasiswa itu kemudian terlibat dalam sengketa perbatasan sehingga akhirnya membuat persetujuan untuk melintasi perbatasan dengan membawa kotak hitam ranjau untuk diantar ke desa. Persetujuan tersebut menyebabkan drama dan kesalahpahaman yang tidak berujung.
Film ini memperlihatkan betapa peliknya perkara perbatasan antar Negara yang kerap melahirkan halangan bagi upaya membangun saling pengertian dan pemahaman. Sungguh film yang menggugah. Sungguh JAFF festival yang ke depannya akan bergengsi, bermartabat, dan memberikan pencerahan kepada pencinta maupun penggemar film. (Syamsudin Noer Moenadi, Jurnalis, Redaktur cannelsatu.com)