Jakarta, Channelsatu.com – 1 Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Putusan pemerintah ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Keputusan pemerintah tersebut mengundang reaksi publik. Warganet lebih banyak menolak kenaikan PPN ini, di tengah situasi ekonomi yang tengah sulit.
Beberapa warganet menilai, kenaikan PPN ini menjadikan rakyat terus kembali menjadi sapi perah pemerintah.
“Lagi-lagi rakyat di jadikan sapi perah oleh pemerintahnya sendiri. Teganya,” dikutip dari akun X liaa🇲🇨 @liaasister, Jumat (22/11/2024).
Menurutnya, kenaikan Pajak PPN 12 persen di awal tahun 2025 di ambil di waktu yang tidak tepat. Karena kondisi ekonomi rakyat yang sangat rendah sekarang ini .
“Untuk sekadar bertahan hidup sudah terasa susah bagi banyak orang, ditambah lagi pemerintah akan menambah Beban .
Ini adalah jalan pintas pemerintah untuk mendapatkan dana segar dari rakyat,” tegasnya.
Hal senada disampaikan akun X Teuku Gandawan Xasir @Gandawan menilai, jika tak terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan atau tak terjadi pergerakan ekonomi luar biasa, maka PPN 12 persen akan menjadi bencana bagi usaha ekonomi menengah ke bawah.
“Segera fokus kejar pajak konglomerat (90 persen ekonomi) RI,” ucapnya.
Sementara itu dilansir dari situs Kementerian Keuangan (Kemenkeu), berikut sejumlah barang dan jasa yang bakal kena kenaikan PPN 12 persen, yakni:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Misalnya barang elektronik yang dibeli di pusat perbelanjaan.
2. Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.
3. Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Misalnya, PPN atas bangunan.
5. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Sedangkan Barang Kena Pajak (BKP) menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN yang kini diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pengaturan cakupan BKP bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.
Kenaikan PPN akan membuat barang dan jasa yang biasa dikonsumsi publik sehari-hari menjadi semakin mahal. Barang-barang itu dikenakan pajak selama penjual berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Beberapa contoh barang yang terkena PPN antara lain pakaian, tas, sepatu, pulsa telekomunikasi, sabun, alat elektronik, barang otomotif, perkakas, hingga kosmetik. Selain itu, jasa layanan streaming film dan musik yang biasa kita pakai seperti Netflix dan Spotify juga memungut PPN. (Fjr)