Jakarta, channelsatu.com: Undang-Undang Perfilman terjegal pelaksanaannya, hingga delapan tahun berjalan, pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya, termasuk menerbitkan Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri sebagai turunannya.
Akibatnya, penyelenggaraan perfilman tidak beraturan. Film Indonesia diberlakukan tidak adil. Walau dikampanyekan sedang maju-majunya, kenyataannya lebih dari separuh film Indonesia tidak punya kesempatan mengumpulkan penonton yang memadai, bahkan banyak yang tidak punya kesempatan untuk dipertunjukkan di bioskop.
Demikian mengemuka dalam Sarasehan Peranserta Masyarakat Perfilman, di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Selasa, 9 Januari 2018 kemarin. Dihadiri lebih dari 40 insan film dan pemerhati masalah perfilman, acara ini dipandu praktisi perfilman Akhlis Suryapati, serta membahas paparan wartawan senior dan kritikus film Wina Armada serta anggota Komisi X DPR-RI Dadang Rusdiana.
“Ketika terjadi silang-sengkarut pendapat dan tindakan yang merugikan Film Indonesia, maka kita menempatkan hukum atau peraturan menjadi acuan untuk mengkritisi semua itu,” kata Akhlis Suryapati.
“Sarasehan ini digagas oleh masyarakat perfilman dengan mengajak wartawan film, untuk mengkritisis kondisi
perfilman yang sebenarnya, tanpa harus ada kecurigaan-kecurigaan, apalagi kebencian, terhadap pihak-pihak
tertentu. Insan film terlalu capek untuk diadu-domba dan terpecah-pecah.”
Sementara itu Wina Armada memaparkan secara fokus, bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran, atau tidak memenuhi kewajibannya, dalam penyelenggaraan perfilman. “Ini bukan pendapat saya, melainkan sesuai undang-undang. Yaitu Undang-undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman,” katanya.
“Di Undang-undang ini sangat jelas disebut apa yang harus dilakukan pemerintah, bahkan sangat
jelas disebutkan batas waktunya, yaitu satu tahun setelah diundangkan harus menerbitkan Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Menteri. Namun sampai delapan tahun berjalan kewajiban itu tidak dipenuhi. Ada
apa ini? Sejak empat atau lima tahun yang lalu, jika ditanya jawabannya selalu sudah dibahas, dipersiapkan,
sudah di meja menteri, tinggal ditandatangi, dan sebagainya.”
Menurut Wina Armada, akibat dari ketiadaan peraturan turunan UU Perfilman itu, ketidakadilan
berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan usaha perfilman. Yang kuat menindas yang lemah. Film
Indonesia diperlakukan tidak adil. Produser-produser takut bersuara meskipun usaha filmnya merugi miliaran
rupiah, karena khawatir semakin digencet dan tidak diberi kesempatan untuk bisa tetap memproduksi dan
mengedarkan filmnya.
“Kami ini membuat film dengan uang miliaran rupiah, Pak. Lenyap begitu saja, karena film kami tidak
bisa beredar, atau bisa beredar namun hanya diberi jatah sepuluh atau lima layar. Bayangkan, ada 1500 layar
bioskop di Indonesia, dan film Indonesia hanya main di 10 atau 15 layar bioskop. Hanya film-film tertentu milik
produser tertentu yang diberi jatah 40 layar sampai 70 layar di hari-hari awal pertunjukan,” kata produser film
Evry Joe, yang ‘terpaksa’ curhat dalam sarasehan itu.
“Kami ini seperti mengemis di negeri sendiri, Pak. Lalu dimana pelaksanaan undang-undang itu? Di mana payung hukum itu? Di mana komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah di negara sendiri?”
Menurut Evry Joe, akibatnya di antara produser film Indonesia sendiri terjadi saling curiga, tidak akur,
merembet kepada insan film, organisasi-organisasi perfilman tidak bisa kompak. Iklim perfilman menjadi tidak
kondusif. Yang diuntungkan oleh keadaan seperti ini, ikut-ikutan nyinyir terhadap yang tertindas.”
Sementara itu Rully Sofyan dari Asirevi mengungkapkan, bahwa UU Perfilman benar-benar terjegal
oleh kekuatan politik bisnis yang besar. “Ketika saya menjadi Pengurus Badan Perfilman Indonesia, ikut
mengawal dan membahas masalah ini, beberapa Peraturan Pemerintah bahkan sudah ditandatangani oleh
Menteri Parekraf pada waktu itu. Perlu sekali lagi ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena
UU Perfilman mengaturnya demikian. Eh, ternyata masuk-angin juga. Begitu pun DPR yang semula sempat
bersemangat membentuk Panja segala, akhirnya masuk angin juga. Jadi UU Perfilman memang terjegal.”
Dijelaskan lebih jauh oleh Ruly, Ada 4 Peraturan Menteri dan 2 Peraturan Pemerintah yang mesti disegerakan. Dan itu adalah salah satu amanat dari hasil kerja Panja DPR terdahulu. 4 Permen itu antara lain adalah; Tata Edar Film, Pertunjukan Film, Mengutamakan Film Indonesia dan Pembatasan Film impor. Sedangkan Peraturan Pemerintahnya (PP) adalah PP Sanksi dan PP RIPN (Rencana Induk Perfilman Indonesia).
“Eko sistem perfilman itu salah satunya adalah Distribusi (tata edar). lha kalaw Tata edarnya gak jelas, terus mau dibawa kemana industri perfilman kita ini?,” tutur Ruly prihatin melihat kondisi tata edar film nasional.
Anggota Komisi X DPRI RI Dadang Rusdiana menyimak semua paparan dalam sarasehan, dan bertekad membawa aspirasi ini ke Komisi X DPRI RI. “Tentu saja kami perlu terus-menerus diingatkan dan didorong seperti ini, karena yang dibahas di DPR itu banyak sekali,” kata Dadang.
Dadang Rusdiana sependapat, UU Perfilman yang ada sudah cukup bagus dan memadai. Kebetulan juga tahun ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR-RI “Persoalannya memang pada implementasi dan tidak diterbitkannya peraturan-peraturan turunannya oleh Pemerintah,” kata Dadang.
Sarasehan Peranserta Masyarakat Perfilman rencananya berlangsung secara berkala, dengan topik
berbeda-beda, dalam rangka menuju Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman bertajuk ‘Demi Film Pribumi’
di Surabaya pada 2 dan 3 April mendatang. (Ibra)