Jakarta, channelsatu.com: Dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang terstruktur, seperti sengketa lahan dan agama, tidaklah cukup dengan penegakan hukum semata. Kasus seperti itu mesti ditangani juga melalui pendekatan budaya dan kultur setempat. Termasuk dengan cara menjalin dialog, musyawarah, dan pendekatan sosial lainnya.
“Hingga kini penyelesaian berbagai kekerasan struktural tersebut masih didominasi oleh penyelesaian represif dan pendekatan hukum semata,” kata Nurcholis, Komisioner Komnas HAM yang saat ini masa jabatannya sedang diperpanjang, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (1/9).
Karena itu, lanjutnya, semestinya pihak-pihak terkait banyak berperan dalam upaya penyelesaian konflik struktural dengan pendekatan sosial maupun dialog.
“Namun realitasnya, hingga kini Mendagri belum banyak melakukan peran tersebut secara nyata sehingga kekerasan seperti yang disaksikan di saat ini terus terjadi dan bermunculan,” ujarnya.
Nurcholis sepakat dengan kebijakan pemerintah yang berupaya mengakhiri kekerasan struktural dengan tidak sekadar menggunakan mekanisme penegakan hukum, tapi dengan pendekatan kultural dan sosial.
“Penyelesaian kasus kekerasan dengan pendekatan hukum selama ini terbukti gagal mencegah peristiwa serupa tersebut tidak terulang lagi. Yang terjadi justru kekerasan baru,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Didi Irawadi menyampaikan kritikannya pada pemerintah dan aparat penegak hukum (polisi).
Untuk pemerintah, Didi menyampaikan kesan adanya pembiaran terhadap publik harus diubah. Begitu juga untuk polisi, ada kesan terlalu toleran terhadap tindakan kekerasan.
“Munculnya kekerasan di Sampang, Madura, karena tidak ada ketegasan pihak kepolisian. Meskipun Kepolisian dapat melanggar aspek HAM, namun itu harus di jalankan asalkan sudah sesuai prosedur, Penegak hukum tidak boleh diam sehingga terkesan ada pembiaran,” ungkap Didi.
Selain itu, Didi mengatakan perlu adanya peran pemuka agama untuk kembali mengajarkan moral, bukan mengajarkan agama secara eksklusif agar terbangun lagi bahwa perbedaan adalah sumber kekayaan Indonesia.
“Bangsa ini unik, karena makin tidak bisa menerima perbedaan padahal pendiri bangsa ini adalah karena banyaknya perbedaan. Sekarang dilihatnya hanya mayoritas dan minoritas. Pendidik dan tokoh agama dan menteri agama perannya besar, kita kembalikan budi pekerti menghargai pluralisme. Jadi hal ini harus dikembalikan lagi,” tegasnya. Foto: Ilustrasi (ip/ch1)