Jakarta, channelsatu.com: Sehari sebelum diangkat dan dilantik sebagai Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), Ir. Armein Firmansyah MT berbincang- bincang dengan saya di kantornya, di lantai 23, Gedung Sapta Pesona di kawasan Thamrin. Dalam perbicangan tersebut menyinggung mengenai kemajuan perfilman negeri ginseng, Korea Selatan.
Tentu tidak bisa memaksa kehendak dalam beberapa hari menjabat Direktur Pengembangan Industri Film, langsung mencuat kasus tata edar film Indonesia, yang membuat film Indonesia semakin terpuruk. Semuanya ini lantaran film import (baca Iron Man 3) menghendaki atau memaksa kehendak untuk diputar secara serempak, sehingga film Indonesia kian tersingkir.
Menyingkapi persoalan tersebut Pak Armein, sebutan akrab,berusaha menanggapinya secara hati jernih. Tidak kalut. Justru ingin melakukan lobi alias berkomunikasi dengan insan perfilman lebih terbuka. Dalam situasi seperti ini, paling tidak diperlukan forum komunikasi di kalangan perfilman yang terus menerus mengenai tata edar.
Berbicara tentang tata edar kiranya tidak lepas dari masalah bioskop – yang saat ini pemiliknya banyak dikuasai Grup 21. Data GPBSI – Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, Agustus 2012, di seluruh Indonesia terdapat 190 bioskop dengan 773 layar yang berkapasitas 151.380 seat,
Dari jumlah 190 bioskop itu penyebarannya tidak merata. Yang paling banyak tentu di Jawa yakni 79, 63 persen, Sumatera 7,41 persen, Kalimantan 4,94 persen, Sulawesi 3,09 persen. Sisanya 0,5 -2,5 persen tersebar di Bali, Maluku, Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara.
Beberapa pulau tidak memiliki gedung bioskop. Data lain memperlihatkan dari 33 provinsi di Indonesia hanya 21 provinsi yang punya gedung bioskop dan itupun terkonsentrasi pada 31 kota besar. Pak Armein tidak menggelak mengenai data itu – itu suatu fakta yang mesti ditata. Pihaknya dalam hal ini pemerintah hanya bisa memfasilitasi, sedang pemainnya jelaslah orang film sendiri.
Karena itu untuk menciptakan harmoni, supaya tidak terjadi lagi Kasus Iron 3, demikian pendapat Pak Armein, perlu forum komuniasi yang terbuka, tidak terputus-putus dan ajeg. Pada forum itulah segala persoalan dapat dirumuskan serta dicari solusinya. Metode komunikasi melalui suatu forum itulah yang bakal diterapkan dalam bekerja oleh Direktur Pengembangan Industri Film pada saat ini.
Pak Armein mengakui pekerjaan rumah tambah panjang serta menumpuk, yang semuanya itu perlu ditangani. Tantangan juga tambah besar. Jelas dibutuhkan penanganan yang tidak sepotong –potong. Persoalan tata edar hanya satu masalah saja, sedang masalah lain saling datang silih berganti.
Tugas yang diemban dianggap Pak Armein merupakan amanah dan tidak bisa diselesaikan sekejab, serta membutuhkan proses, Dan itu sesungguhnya sudah tertera dalam penyusunan rencana induk pembangunan perfilman. Kata lain, kerja Direktur Pengembangan Industri Perfilman tidak bisa keluar dari koridor itu, karena segala sesuatunya sudah digariskan dalam rencana induk.
Menurut Pak Armein bahwa film Indonesia masih dalam tahap menuju industri,belum menjadi industri yang sebanarnya. Tapi juga bukan industri rumahan. Aspek industri adalah aspek penting dalam menatap dinamika perfiman nasional (Indonesia) – karena jumlah produksi film yang acapkali dijadikan salah satu kreteria untuk menilai kemajuan suatu sistem perfilman nasional.
Pada satu sisi persoalan pertumbuhan jumlah produksi nasional memang masih jadi persoalan tersendiri dalam perfilman Indonesia. Mengingat sejak kelahirannya produksi film nasional masih mengalami pasang surut. Sebab, bisa –bisa karena faktor politik serta sistem yang dijalankan salah arah maupun salah kaprah.
Pak Armein tidak menutup-nutupi kenyataan di lapangan dan diakui misalnya, hadir di festival Film Cannes hanya untuk promosi semata. Bahwa film Indonesia ada di dunia internasional. Hanya itu pencapaiannya. Apabila kemudian film Indonesia laku terjual, kiranya pihak produser yang berurusan.
Jelaslah banyak sekali pekerjaan rumah yang mesti dihadapi Direktur Pengembangan Industri Film ini. Jika disebutkan satu persatu tantangannya,jari tangan dan jari kaki akan menjadi lebih. Ibarat pembicaraan bisa berjam-jam. Masalah daya saing film Indonesia, juga problem tersendiri. Apalagi saat liberalisme pasar Asean pada tahun 2015. Apakah fim Indonesia bisa merebut peluang?
Film Indonesia seperti diketahui belum ada yang diputar di bioskop negara lain. Kecuali ikut festival. Pasar penjualan film Indonesia hanya mampu menjangkau pasar dalam negeri. Jangan bicara penjualan ke negara Eropa dan Amerika saja agak sulit.
Memang yang terjadi film Indonesia dibeli untuk penayangan film televisi. Tapi tidak dibeli untuk layar lebar. Bagaimanapun suatu negara lebih melindungi produksi lokalnya – ketimbang memutar film import. Korea Selatan yang menjadi bahan dialog saya dengan Pak Armein, menyebutkan sebuah film lokal begitu masuk bioskop setidaknya bisa bertahan di bioskop selama 22 hari, barulah kemudian turun andaikata tak laku. Di Jerman masa putar di bioskop apabila sepi penonton selama sepuluh baru di turunkan. Di Indonesia? Dua hari nggak ada penonton, langsung turun.
Pekerjaan rumah demi pekerjaan rumah harus diselesaikan oleh Direktur Pengembangan Industri Film. Sertamerta selesainya tidak bisa digeber dalam waktu seperti membalik tangan. Melainkan, inilah pekerjaan yang membutuhkan proses, dan perlunya diciptakan arus komunikasi yang nyaman sesama insan perfilman (tentu dengan hati jernih) – untuk bisa membangun industri film Indonesia seutuhnya. Jadi tidaklah heran jika akhirnya Pak Armein ditunjuk menjadi Direktur Pengembangan Industri Film. Dengan demikian kehadiran Pak Armeun diharapkan sekali bisa mengayomi orang-orang film. Selamat bekerja Pak Armaein ( Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis sekaligus pemerhati perfilman ) Foto: Dudut Suhendra Putra.