Scroll untuk baca artikel
Sinopsis

MUSEUM TEKSTIL, WASTRAPREMA, DAN FAKTA SEJARAH

5
×

MUSEUM TEKSTIL, WASTRAPREMA, DAN FAKTA SEJARAH

Sebarkan artikel ini

Jakarta, channelsatu.com: Di tengah kemacetan menuju Pasar Tanah Abang, Jakarta, dari Palmerah, Slipi yang melintas Jalan KS. Tubun, kendaraan yang  saya tumpangi merambat pelan persis di depan Museum Tekstil. Pasar Tanah Abang hanya berbilang langkah, namun saya merasa tidak sabar, sehingga turun berjalan kaki. 

Baru beberapa langkah saya melihat papan nama petunjuk yang lumayan mencolok berupa tulisan : Museum Tekstil, dan tanpa diperintah tergerak begitu saja, saya menuju sebuah gedung yang dibangun pada awal abad ke-18 serta arsitekturnya bergaya Art Craft.

Saya masuk gedung utama dan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih pada pagi hari.  Sementara waktu kunjungan Museum Tekstil dari pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Sedang harga tiket  masuk museum  tergolong murah, untuk pengunjung dewasa dipatok dua ribu rupiah, mahasiswa atau pelajar hanya seribu perak dan anak-anak dikenakan ongkos enam ratus rupiah.

Gedung Museum tekstil ini sudah beberapa kali berganti kepemilikan. Awalnya sebagai vila milik warga Perancis yang tinggal di Batavia, dan pernah  menjadi Markas Besar Barisan Keamanan Rakyat, saat situasi Jakarta dalam keadaan tidak menentu, lantaran merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Sebagai Museum Tekstil pada tanggal 28 Juni 1976, digagas Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada waktu itu dan peresmiannya dilakukan Ibu Tien Soeharto.  Ali Sadikin menggagas museum tersebut setelah melakukan kunjungan dari Belanda. Di Belanda, almarhum Ali Sadikin menyaksikan sendiri betapa banyak benda sejarah Indonesia, termasuk kain, tersimpan di negeri Kincir Angin.

Segera saja Ali Sadikin menghimpun para pecinta kain sertamerta mengutarakan keinginannya untuk mendirikan museum. Singkat kata para pencinta kain menyambutnya dengan sukacaita. Maka untuk merealisasi gagasan Ali Sadikan, dibentuklah himpunan pecinta kain. 28 Januari 1976, tapi peresmiannya dilaksanakan pada tanggal  28 Juni di Jakarta, berbarengan dengan berdirinya Museum Tekstil Jakarta. Adalah Ibu Tien Soeharto yang meresmikan

Himpunan kain itu diberi nama Wastraprema, yang berasal dari bahasa Sansekerta. Wastraprema artinya kain, lantas prema berarti cinta. Secara internasional disebut Indonesian Textile Sociaty. Cakupan program Wastraprema pun tidak sekadar pecinta kain semata, melainkan himpunan pecinta berbagai jenis kain : Tenun, batik dan kain adat alias tradisional Indonesia.

Saat ini, tiga puluh delapan tahun kemudian Wastraprema sudah menancapkan eksistensi. Sesuai dengan visi maupun misinya yakni wastra sebagai warisan budaya suatu bangsa yang kaya serta tinggi nilai seninya serta merupakan karya yang  sepatutnya dihargai dari bangsa yang bermartabat dan berbudaya. Lantaran itulah Wastraprema mengemban tugas mulia, yaitu mengangkat citra, pemahaman serta apresiasi terhadap seni budaya kain tradisional Indonesia supaya semakin dikenal, diminati, dihayati dan dilestarikan untuk diwariskan kepada generasi penerus. Sampai detik ini, eksistensi Wastraprema sudah dikenal dan populer di dunia internasional. Hatta, Wastraprema sudah mendunia.

 

Kini anggota Wastraprema yang berasal  dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk anggota  dari negara sahabat, berjumlah kurang lebih 300 orang lebih. Berdirinya Wastraprema  sejatinya menggulirkan langkah nyata, yakni berdirinya pula Museum Tekstil Jakarta, tanggal lahir museum ini 28 Juni 1976 yang  bersamaan dengan didirikan himpunan Wastraprema.

Pada satu sisi, sampai tahun 2014 Museum Tekstil Jakarta mengoleksi sejumlah 1914 koleksi  (bahkan lebih) yang terdiri dari 680 koleksi kain batik, 761 koleksi kain tenun, 313 koleksi campuran, 60 koleksi peralatan dan 100 koleksi busana maupun tekstil.

Beraneka ragam warstra yang tersimpan di Museum Tekstil Jakarta. Ada satu kain yang menarik perhatian saya adalah kain yang berasal dari Donggala, terletak di Sulawesi Tengah dan memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Sulawesi Selatan. Kebudayaan Donggala sangat dipengaruhi budaya Bugis. Hal ini terlihat jelas pada ragam hias dan warna wastra yang dihasilkan pada teknik pembuatan ragam hias ikat pakan yang digunakannya.

 

Bagaimana dengan koleksi wastra batik yang terdapat di Museum Teksil Jakarta, adakah yang patut dicermati? Batik dari pesisir utara Jawa patut ditengok  alias disimak. Di awal abad ke-20 wastra batik beragam hias keseluruhannya dari pesisir utara Jawa Tengah, yang disebut dengan nama setempat bangbangan (abang, bang yang berarti merah), diproduksi secara besar-besaran di daerah (kota) Lasem.

Warna merah keseluruhan  sangat digemari masyarakat wilayah Lasem. Batik bangbangan Lasem  yang dikoleksi museum tekstil ini  berbentuk kain panjang, dihias dengan motif –motif kecil berupa burung dan bunga yang dibuat berulang –ulang.  Di kedua ujung terdapat deretan segitiga menghadap ke luar kain di atas dasar merah ditaburi bunga-bunga kecil berwana putih dan dikerjakan dengan sangat halus.

Latar belakang berwarna putih susu pada batik bangbangan Lasem itu diperoleh akibat proses awal pembantikan, yaitu ketika kain putih diolesi minyak yang berasal dari tumbuhan dan diterpa menggunakan pemukul kayu untuk mendapatkan permukaan yang betul-betul rata serta halus. Jenis batik Lasem seperti ini disukai di lingkungan bangsawan Palembang, Sumatera Selatan. Batik Lasem bahkan terkenal di seluruh Sumatera serta di lingkungan Tiongkok peranakan baik di Indonesia, Malaysia maupun Singapura.

Bukti sejarah Indonesia telah tercatat pada selembar kain. Sementara berlembar-lembar kain tersimpan rapi di Museum Tekstil Jakarta.  Maka apa arti suatu museum?  Tidak diingkari bahwa museum dapat menawarkan sarana belajar untuk, melakukan, menjadi dan hidup bersama.  Maksudnya?  Melalui museum, kita yang berarti pula pengunjung museum, akan mengetahui fakta sejarah.

Fakta memang menunjukkan bahwa Jalan K.S. Tubun, dari perempatan Slipi menuju Pasar Tanah Abang, kendaraan roda dua maupun mobil bergerak merayap. Melaju pelan, bahkan bisa dikata tersendat. Menghadapi suasana semacam itu, tidak usah cemas. Justru dalam situasi kemacetan, katakanlah begitu, malah membawa hikmah yang antara lain bisa bertandang ke Museum Tekstil Jakarta

Sejenak berada di Museum Tekstil Jakarta, pada siang hari (sambil menunggu Jalan K.S Tubun tak macet),  kita dapat menyerap atmosfir yang lain, yaitu perihal sebuah museum yang memberikan kemaknaan pada kita, selain menghadirkan informasi. Di sisi lain bahwa keberadaan museum adalah fakta yang bisa memenuhi kepentingan kemuliaan terhadap masyarakat.

 

Jadi, tidak perlu risau jika menghadapi kemacetan di Jalan K.S. Tubun no 2-4, dan untuk mengatasi, silahkan bertandang saja ke Museum Teksil Jakarta. Banyak informasi perihal kain yang didapat. (Syamsudin Noer Moenadi, Redaktur ChannelSatu.com dan pemerhati masa). Foto: Ilustrasi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *