MENGONSUMSI SINGKONG DEMI MEMELIHARA HARGA DIRI

Must Read

Cimahi, channelsatu.com:Suatu saat saya bersama beberapa mahasiswa pencinta alam dari salah satu Perguruan Tinggi swasta Jakarta blusukan ke kampung Cirendau yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari kota Cimahi, Jawa Barat. Kami menginap beberapa hari di sana untuk merasakan suasana kampung Cirendau yang bersahaja.

 

 

Warga Cirendau yang ramah, siapa menyangka, tanpa gembar-gembor telah melakukan kemandirian dalam soal pangan. Warga Cirendau  itu sejak tahun 1924 seratus persen mengonsumsi rasi, yakni nasi yang terbuat dari tepung ampas singkong sebagai sumber karbohidrat.

 

Tidak mengonsumsi beraskah mereka?  Masyarakat tidak  tertarik pada beras. Justru kami bangga sekali mengonsumsi rasi. Kami tidak teriming-iming untuk mengonsumsi beras, dan bukan kami tidak mampu membeli beras, tetapi singkong telah menjadi pilihan. Kami sadar semuanya itu demi menjaga keseimbangan dengan alam dan untuk memelihara harga diri, “ kata Tiesna salah satu tetua adat kampung Cirendau.

 

Hampir 90 tahun warga Cirendau memegang teguh tidak mengonnsumsi beras, melainkan rasi. Artinya masyarakat tidak tergerus terhadap konsumsi makanan lain, sementara zaman maupun pasar semakin terbuka. Masyarakat tidak bergeming dengan serbuan maupun iming-iming makanan luar yang serba wah.

 

Namun malah merasa bangga lantaran hidup yang diteguhi.  Artinya  masyarakat Cirendau ridak pernah kekurangan pangan karena singkong. Yang tumbuh  di lereng bukit sekitar kampung Cirendau.  Kisah mengenai singkong, yang akhirnya menciptakan kemandirian pangan tidak cuma terjadi di Kampung Cirendau, letaknya dekat dari kota Cimahi, Jawa Barat,  melainkan  di Kepulauan Kei, Maluku.

 

Singkong alias enbal merupakan makanan pokok bagi Masyarakat Kepulauan  Kei, Maluku, sejak tahun 1912. Pada waktu itu Raja  Fer dari Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, Haji Ali Rahayaan pulang dari Bali. Masyarakat setempat menamakan umbi yang memiliki nama Latin Manihot Utilisima sebagai enbal, yaitu ubi dari Bali.

Tanaman ubi ini menyebar di Kei Kecil  Bisajadi karena tanah di Kei Besar maupun Kei Kecil berkarang dan kering, sehingga kepulauan di timur laut Banda sangat cocok untuk berbididaya singkong.  Setelah Raja Fer dari Pulau Kei Besar memperkenalkan ubi dari Bali,  maka pada tahun 1931 Donatus Oboitimur asal Oboy Ngilngof  membawa singkong Manihot esculenta  Crantz dari Manado. Ternyata singkong jenis ini mengandung  sianida tinggi.

 

Masyarakat pun mengonsumsi singkong jenis ini, maklum tidak tahu mengandung sianida tinggi,  dan ternyata membawa korban, setidaknya banyak orang Kei mati. Tapi tahun 1970-an  masyarakat Kei sudah mengetahui untuk menghilangkan sianida tinggi itu, melalui cara sederhana yaitu jika mengonsumsi tidak boleh langsung merebus atau menggoreng.

 

Sebaliknya dimulai dengan mengupas singkong dan mencici bersih, Selanjutnya diparut, dan parutan singkong itu kemudian diperas dalam kain  sampai diperoleh sari pati singkong, yang terus dijemus sampai kering. Pengeringan itu, tentu  dengan sinar matahari langsung, membutuhkan  sekitar tiga hari.

 

Proses penghancuran dan pengeringan itulah yang membuat  hilangnya asam sianida. Sedangkan sari pati singkong itu  dimasukkan ke dalam  porna, sejenis cetakan untuk memanggang  sampai menjadi berbentuk lempengan. Nah, embal lembangan  yang dihasilkan pun siap dinikmati.

 

Bagi masyarakat Kei  Kecil dan Kei Besar, makanan ini menjadi pengganti nasi. Enbal bisa dimakan dengan aneka olahan ikan dan makanan laut ditambah sayur mayur.. Sekarang ini embal lempeng  sudah dijadikan camilan dengan macam-macam varian  rasa, mulai dari cokelat, gula kacang hingga keju.

 

Menurut ahli gizi kuliner Tuti Soenardi, singkong sebutan populer cassava  di Indonesia bisa diolah menjadi makanan pokok ataupun makanan pendamping. Singkong sebagai tepung tapioka, sudah lama dimanfaatkan sebagai biji mutiara atau dicampur dengan ikan menjadi empek-empek  Palembang.

 

Patut dicatat adalah Firmansyah Budi Prasetyo asal Yogyakarta punya ide yang mengola singkong menjadi makanan bergengsi.  Firmansyah mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi hasil pertanian yang bisa dijadikan bahan baku pangan, salah satunya tidak lain singkong yang sebagian masyarakat masih memandang makanan kurang berkelas.

Di daerah asal Firmansyah, singkong mudah didapat. Malah Yogyakarta penghasil singkong nomor satu di Pulau Jawa. Untuk soal ini Firmansyah mudah mendapat bahan bakunya, tapi masyarakat sudah terlanjur makanan murahan. Tahun 2006 Firmasyah mulai usaha dari sebuah gerobak hasil pinjaman dengan menggunakan perlengkapan dapur milik ibunya.

 

Merk yang diusung Firmasyah, yakni Hony Tela. Lalu berkembang dengan nama Tela Krezz dengan modal Rp. 200.000. Tahun 2009, alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada mendirikan usaha Cokro Tela Cake sekaligus membuka toko berkonsep Toko Oleh–oleh Khas Yogya, produk utamanya Tela Cake yang menggunakan bahan seratus persen tepung singkong.

 

Tahun 2011 awal, Firmansyah  mengembangkan konsep kemitraan dengan merk Kassafa Brownie Tela. Kini usaha Firmansyah terus berkembang. Tahun 2009 nilai omzetnya mencapai tiga juta rupiah perbulan. Jelas saat ini omzetnya mengalami kenaikan berlipat.

 

Sekarang ini tidak kurang seribu kue dibuat tiam hari. Jumlah karyawannya pun bertambah dari lima orang  kini menjadi 55 orang. Pemasarannya sudah meluas  dan di Yogyakarta mudah dicari. Firmansyah memiliki obsesi bahwa produk olahan dari singkong ini diterima di seluruh daerah di Indonesia dan di luar negeri.

 

Sekadar catatan makanan singkong sangat bagus untuk penderita diabetes dan autis. Dan singkong mempunyai kandungan karbohidrat kompleks  dan serat yang baik untuk pencernakan. Memang singkon baik untuk penderita autis. Pasalnya tidak mengandung gluten. Kandungan gizi dan vitaminnya baik juga untuk kebutuhan tubuh.

 

Catatan lain tidak dipungkiri kesediaan bahan baku singkong terbatas. Maksudnya belum banyak orang yang mengolah singkong yang dibutuhkan. Pasalnya tidak semua jenis singkong dapat diolah menjadi kue tela.  Dan harap dicatat  pula jika berada di Bandara Soekarno Hatta sebelum berpergian, serta tiba-tiba kangen dengan gethuk kelapa ,bahan dasarnya singkong, datanglah ke BNI Lounge di Terminal 2 F.

 

Gethuk Kelapa di BNI Lounge di Terminal 2 F itu memang enak. Dari sekian menu, hanya dua menu yang paling disukai yaitu gethuk kelapa dan serabi. Tapi gethuk kelapa yang paling favorit.  Sungguh kudapan berbahan singkong  lezat dinikmati. Mari kita tingkatkan menyantap makanan singkong yang bercitarasa modern dan global dengan segala jenis variasinya. (Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis, serta pemerhati kuliner  sekaligus penikmat  makanan ) Foto: Ilustrasi.

 

 

 

 

 

Latest News

Indonesia Juara Dunia FIFAe World Cup 2024 Kategori Console

Jakarta, Channelsatu.com - Timnas eFootball Indonesia berhasil menjadi juara dunia dalam FIFAe World Cup 2024 Kategori Console. Hasil ini...

More Articles Like This