Masalah Penjurian Festival film, Pertanggungjawaban Yang Tak Kunjung Selesai

Share

Jakarta, channelsatu.com: Dalam wawancara dengan majalah The Hollywood Reporter (23 Mei 2012), ketika menghadiri Festival Film Cannes, Jonathan Sehring,  Ketua Seleksi Festival Film Sundance, berucap bahwa festival film di manapun di dunia, dikatakan terpandang justru terletak pada masalah penjurian.

“Jurinya harus kredibel. Tidak sekadar mengerti teori film, tetapi harus memahami wawasan global mengenai film”

Pernyataan itu terus bergulir, siapa saja yang berhak menjadi juri. Jawabannya ringkas,
“Siapa saja bisa menjadi juri dan siapa saja juga bisa menyeleksi film (seperti yang dilakukan oleh suatu tim Festival Film Sundance yang menyeleksi ratus bahkan ribuan judul, yang kemudian diserahkan pada juri).

- Advertisement -

“Ucapan siapa saja, tentu bukan berarti orang-orang sembarangan atau serampangan.“ Bagaimanapun mereka memiliki jam terbang tinggi, dan bukan mesti pembuat film. Namun punya wawasan global dalam hal menelaah karya film. Bisa seorang produser, kritikus (dalam artian bukan hanya menulis berita film, tapi pemikir film), musikus yang wawasan filmnya tidak diragukan, penulis buku, pembuat film (entah sutradara atau penata artistik), penyair dan boleh sebut siapa saja asal mumpuni dan seorang empu.“

“Juri ini adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap film, dan bukan hanya sekadar merespons saat melihat suatu film, melainkan bahwa juri telah melakukan proses dialektika terhadap film yang ditonton,“ cetus Jonathan Sehring yang mengomentari Cannes adalah festival film paling besar serta akbar di dunia.

Menurutnya, juri Cannes adalah figur yang punya pengaruh. Mereka ini tak cuma cakap membaca bahasa film maupun menganalisa setiap gerakan gambar. Mereka ialah orang-orang terpandang dan berwawasan global, sehingga tidak heran masalah politik dan film menjadi bersinggungan.

Sewaktu ditanya berapa orang  jumlahnya yang ideal untuk menilai dalam suatu festival film,  Jonathan Sehring tidak bisa memberi jawaban. “ Untuk Cannes, jika tidak salah sembilan orang. Sundance sebanyaknya. Sedikitnya sebelas orang juri. Kami memilih sejumlah film oleh juri dari berbagai profesi, dan mereka ini tentu punya kecakapan luas serta paham benar tentang profesi yang ditekuni.“

- Advertisement -

Jonathan Sehring menilai Cannes merupakan festival film yang mewah dan gemerlapan. Namun tetap harus diingat masalahnya bahwa festival film dianggap mempunyai kewibawaan serta martabat terletak pada pilihan para juri yang bekerja tidak setengah hati. Mereka ini menilai sejumlah film dan langsung memutuskan. Tidak diserahkan lagi pada juri lain, yang diminta lagi untuk menilai.

Sedangkan Sundance yakni festival film yang biasa saja. “Kami tidak banyak melakukan pesta. Yang kami lakukan tidak lain menilai film. Film adalah film, bukan politik dan bukan bisnis. Bahwa kemudian film dipakai sebagai sarana bisnis maupun isinya padat dengan muatan politik, itu bukan masalah buat kami. Tugas juri pada Festival Sundance  menilai film,  bukan mempromisikan film.“    

Saya punya pengalaman tatkala menjadi Ketua Bidang Penjurian Film Bioskop dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2012. Bisa jadi Jonathan Sehring tidak bakal mengalami seperti yang saya jalani.  Bayangkan hampir dua ratus nama yang saya catat, untuk akhirnya dipilih menjadi juri, yang dikelompokkan menjadi dua. Yaitu untuk seleksi  yang berjumlah sembilan orang, dan 15 orang untuk juri penentuan. Sesuai buku pedoman 15 juri penentuan ini, terdiri dari 10 orang juri baru dan 5 orang dari seleksi.

Tentu membuat repot dan ribet dalam memilih juri. Mengingat waktu yang  mepet, serta merta membuat sosok yang bakalan dijadikan juri nggak sesuai jadwal. Andaikata waktunya tak sesuai, terpaksalah mencari juri lagi. Dan hal ini, bagaimanapun membutuhkan waktu.

Idealnya sebelum FFI diselenggarakan pencarian sosok juri mesti dilakukan lebih dulu, apalagi untuk mencari juri yang memiliki wawasan global. Tidak hanya semata-mata memikirkan estetika  film, tapi mampu membaca persoalan yang terjadi pada industri perfilman Indonesia.  
Masalah utama penjurian film adalah pertanggungjawaban kepada publik, dan pertanggungjawaban itu  tidak pernah selesai. Artinya publik memang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri.  Sementara juri punya sikap dalam memilih. Di sinilah jadinya juri haruslah seorang empu, yang kata  Jonathan Sehring, juri mesti punya pengaruh.  Untuk kaitan ini, kecakapan serta kewibawaan juri dipertaruhkan.

Saya merasa kaget ada sosok yang menolak menjadi juri, padahal sosok ini mempunyai prestasi jempolan (peraih beberapa Citra), bukan karena sibuk. Malah banyak waktu, tapi lantaran, Apakah memang saya pantas menjadi penilai film? Saya tidak memiliki kapasitas sebagai juri. Saya tidak sanggup menilai film dan saya paling susah untuk memberikan penilaian.

Hatta sosok tersebut menolak jadi juri. Di satu sisi banyak rekan yang menawarkan diri menjadi juri, walau rekan inipun mempunyai prestasi bagus, setidaknya berkali-kali masuk nominasi. Ringkas cerita, pantas diamini kata Jonathan Sehring, bahwa festival film bermartabat  dan berwibawa jika  juri yang menentukan film terbaik adalah juri yang punya martabat serta memiliki kewibawaan.

Semuanya itu memang ditentukan oleh juri yang memiliki jam terbang tinggi, serta tekun  melakoni profesinya. Mempunyai kecintaan terhadap film, serta tidak sekadar basa-basi.  Melainkan cinta yang tulus. Bagaimanapun mengenai jam terbang ( selain kecakapan, dan berwawasan ) inilah yang akhirnya mengentalkan emosi juri dalam menentukan film terbaik. ( Syamsudin Noer Moenadi,  jurnalis dan pernah menjadi Ketua Bidang Penjurian Film Bioskop Festival Film Indonesia (FFI) 2012).

Redaksihttps://channelsatu.com/
News and Entertainment

Read more

NEWS