Channelsatu.com: Untuk menjawab pertanyaan ini memang diperlukan uraian serta penjelasan panjang. Namun pertanyaan ini layak sekali digarisbawahi mengingat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika bertatap muka dengan insan perfilman yang ingin Semarang sebagai tempat puncak penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2013, melontarkan pernyataan, “Hendaknya Jawa Tengah bisa dijadikan proyek percontohan provinsi lain untuk bisa membangkitkan industri perfilman Indonesia lebih maju. Saya akan telepon rekan- rekan gubernur untuk hadir pada puncak acara FFI“
Pertanyaan Gubernur Jawa Tengah itu bukan sekadar basa-basi atau retorika semata. Justru merupakan suatu tantangan yang mesti ditindaklanjuti, bukan cuma ditujukan untuk sineas Jawa Tengah, melainkan buat semua pihak yang merasa dirinya punya kepentingan terhadap dunia perfilman. Termasuk pula pemerintah yang mengayomi baik dari sisi kebijakan maupun regulasi.
Sutradara Riri Reza dari kalangan muda begitu menyadari bahwa perfilman Indonesia masih terpusat di Jakarta. Padahal menurutnya potensi daerah memiliki banyak ragam budaya dan berpotensi luar biasa, termasuk berkaitan dengan sumber daya manusia yang disia-siakan. Mengenai hal tersebutlah kiranya perlu restorasi menyeluruh dalam dunia perfilman Indonesia.
Semarang yang dijadikan tempat penyelenggaraan, sebelum acara puncak 7 Desember 2013 dilangsungkan, digelar apresiasi yang tujuannya supaya media film tidak jauh dengan masyarakat. Terlebih lagi bahwa film merupakan gambaran maupun cerminan masyarakat, betapa film kita adalah wajah kita.
Maka dalam hal ini FFI 2013 adalah momentum yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Malah bisa dijadikan semangat dalam memaju perkembangan industri perfilman di Indonesia. Kita bisa mencontoh India misalnya yang total jumlah produksinya bisa mencapai sekian ratus judul, karena setiap daerah alias setiap provinsi memproduksi film.
Sebenarnya gagasan ini pernah dicetuskan saat Menteri Dalam Negeri dijabat (almarhum) Rudini. Pada waktu itu Rudini menghimbau kepada gubernur dari masing-masing provinsi untuk ikut memproduksi film, tidak hanya pemerintah daerah yang menangani. Tapi juga pihak swasta yang berdomisili di daerah ikut terlibat. Tentu saja semuanya itu dilakukan demi perkembangan industri perfilman Indonesia. Pada waktu itu pula jumlah bioskop begitu banyak serta merta tidak seperti sekarang yang jumlahnya makin menyusut serta mengerucut.
Ganjar Pranowo memahami mengenai hal itu, tentang pasang surut perfilman Indonesia yang pada akhirnya sama sekali tidak beranjak. Maju kena mundur kena. Dikatakan maju pun tidak, dikatakan mengalami kemunduruan juga nggak tepat. Sementara saat ini masyarakat mulai enggan masuk gedung bioskop. Pasalnya harga tiket mahal?
Bukan perkara itu, tapi duduk persoalannya menyangkut biaya pengeluaran. Untuk bisa menonton satu judul film , di Jakarta, buat dua orang , paling tidak, membutuhkan dana dua ratus ribu rupiah. Masalah dana menonton inilah, yang lantas dikaji ulang bagi penonton film. Jadi harap maklum untuk satu judul film disaksikan seratus ribu penonton saja sudah bisa dibilang sukses. Walaupun ada satu dua judul ditonton jutaan orang.
Gubernur Jawa Tengah yang pencinta film dan sering berdiskusi dengan koleganya malah menginginkan dalam perhelatan FFI 2013 ada acara memutar film Indonesia yang dulu berjaya dan film masa kini kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat, “Akan mengetahui perkembangan perfilman Indonesia seperti apa. Juga akan melihat sendiri gambaran masyarakat pada waktu itu bagaimana.”
Keinginan Gubernur Jawa Tengah memutar film Indonesia zaman dulu dan kini supaya masyarakat bisa bercermin adalah ajakan bernas. Selayaknya perlu direalisasikan. Melalui cara itulah masyarakat bisa menilai pencapaian yang dilakukan orang film, termasuk yang menyangkut pertumbuhan industri perfilman Indonesia. Alih-alih kenapa di kota kabupaten, termasuk kecamatan tidak ada lagi gedung bioskop?
Inipun juga pertanyaan yang perlu dijawab, dan jika dijawabpun memperlukan satu dua bab sendiri. Jadi, baiklah, kembali kepada judul tulisan mampukah FFI mendongkrak perfilman Jawa Tengah, jawabanya sudah ditegaskan bahwa supaya tidak sangsi memang dibutuhkan uraian panjang dan diperlukan penelurusan data.
Sejarah mencatat pada zaman Hindia Belanda, Semarang adalah kota perdagangan alias bisnis semata, bukan kota jasa. Untuk mencari hiburan, khususnya menonton bioskop, masyarakat Semarang, malah sering pergi ke kota Magelang yang sekaligus berwisata. Bukannya di kota Semarang tidak ada bioskop. Tapi bioskop di Magelang, Alhambra Theaters, ialah bioskop berbintang lima untuk kaum elite warga Hindia Belanda.
Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, kecamatan 534, kelurahan 8540 dan desa 31820. Luas wilayah Jawa Tengah sebesar 3m 25 juta hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas kota Jawa. Dengan menyimak data itu, sungguh secara potensi, Jawa Tengah memiliki (termasuk) kekuatan kreatif yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Penggiat film di Jawa Tengah, tidak hanya di Semarang kota, tapi di daerah sekitarnya, tumbuh dengan semangat gegap gempita. Bermunculan secara semarak serta bergairah. Malah mereka penggiat film itu mengadakan festival film segala. Ada Festival Film Dieng, Forum Film Serayu, Forum Film Jepara dan ada Festival Film Banyumas. Bahkan kota kecil, yaitu Grabag, pernah menyelenggarakan festival animasi tingkat dunia.
Lumrahlah apabila Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranomo mengharap pada FFI bakal sanggup mendongkrak jagad perfilman Jawa Tengah. Setidaknya melalui FFI bakal mampu mengangkat potensi pekerja kreatif, baca sineas, Jawa Tengah untuk berkiprah ke tingkat global. Dan semoga saja FFI 2013 pun akan memberi inspirasi nyata, yang berpijak pada visi, yakni terwujudnya pengembangan industri perfilman Indonesia.
Melalui ajang apresiasi dan kreativitas hasil karya insan perfilman ini bisa bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Bukan sebaliknya FFI selalu menjadi sorotan karena menjauhi masyarakat. ( Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis dan pemerhati film)