Banyuwangi, Channelsatu.com: Terdapat cetelukan bahwa Lebaran, hari kemenangan setelah 30 hari menjalakan ibadah puasa Ramadhan, di Banyuwangi lebih dulu dikumandangkan ketimbang di kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung maupun di Jakarta. Lho ? Maklum sebagai wilayah paling ujung timur pulau Jawa, (Kabupaten) Banyuwangi merupakan daerah pertama yang merasakan matahari terbit.
Maka tidak salah apabila Banyuwangi kerap disebut Sunrise of Jawa. Di saat orang Jakarta masih tidur, justru orang Banyuwangi sudah bangun. Sebab matahari terbit paling duluan di Banyuwangi. Sebagaimana diketahui Banyuwangi banyak sekali obyek wisata.
Dan unggulan di sektor pariwisata adalah menititikberatkan pengembangan yang berbasis kearifan lokal serta pelestariat serta pengembangan budaya lokal. Termasuk kuliner. Salah satu kuliner yang tidak boleh diabaikan ialah kue Precet, mirip pasta yang pada bulan Ramadhan banyak dijajakan. Terutama pada menjelang sore banyak dijual kue Precet di pinggir-pingir jalan kota Banyuwangi.
Warga Banyuwangi menyebut kue Precet yang penyajiannya dibungkus daun pisang dan jika disantap dengan juruh atau kuah santan bergula. Di daerah lain di Jawa Timur, kue Precet itu disebut keu petula. Bentuknya mirip mi, ukurannya kecil dan berwarna-warni. Rasanya legit sekali.
Harganya saat ini (Ramadhan 2013) perbungkus dua ribu rupiah. Kendati hanya menyantap sebungkus, sudah membuat perut kenyang. Memang, Precet kue yang muncul saat Ramadhan. Tidak ada catatat pasti mengenai sejak kapan kemunculan kue ini. Cuma yang bisa ditelisik adalah resepnya sudah diajarkan secara turun-temurun.
Misalnya yang dilakukan Ibu Sulaika (44 tahun) tidak lain generasi ketiga pembuat kue Precet di keluarganya. Sehari bu Sulaika menghabiskan 25 kilogram tepung beras untuk membuat kue Precet, malah kurang. Cara membuat kue ini tidak sulit. Menggunakan cara manual, masih dicetak. Sehingga menyita waktu.
Dengan bahan 25 kilogram tepung beras, bu Sulaika memulai membuat kui seusai sahur, pukul 04.00 serta baru selesai pada siang hari, pukul 11.00. Dimulai dari tepung beras dikukus di tungku sampai matang, lalu dicampur air matang dan diberi pewarna makanan, terus diuleni sampai merata.
Setelah diuleni, adonan dicetak menggunakan cetakan mirip saringan, namun lubangnya lebih besar. Satu cetakan cukup satu sendok adonan. Nama Precet didapat dari proses tersebut. Adonan mrecet atau keluar dari cetakan saat ditekan dari sendot. Begitu ditekan, mrecet-cet, jadilah namanya Precet.
Sampai sekarang kue Precet tetap bertahan dari gerusan zaman. Mengingat banyak jenis kue modern yang dibuat melalui proses industri. Sertamerta bentuk alias kemasan begitu menawan. Setelah dicetak, kue yang berbentuk itu dikukus lagi. Kemudian siap dibungkus dan dijual dengan kuah terpirah.
Sebenarnya kue Precet rasanya tawar. Namun kuehnya yang berbahan gula merah dan santan yang membuat rasanya legit. Rasa itulah menjadi ciri khas kue Precet. Makanya cocok untuk tadisi takjil, berbuka dengan makanan manis. Kue Precet yang terbuat dari tepung beras ini sangat populer, lantaran (diyakini) mampu mengembalikan tenaga yang hilang setelah berpuasa sehari penuh.
Kemunculan kue Precet tidak lepas dari geografi Banyuwangi yang dikenal sebagai penghasil beras, kelapa dan nira. Melimpahnya hasil bumi tersebut menjadikan makanan yang berbasis bahan tersebut menjadi murah meriah serta merakyat. Berbeda, umpamanya, dengan brownies yang bahan utamanya mesti diimpor.
Kue Precet hanya muncul saat bulan puasa sampai Lebaran. Jadi tidak mudah untuk mendapatkannya. Di satu sisi, jajanan brownies sudah merambah desa, namun kue Precet tetap saja digemari, resepnya dibuat turun temurun dan menjadi hidangan istimewa. Layak kue Precet diapresiasikan secara luas serta tidak hanya hadir pada bulan Ramadha saja. Kenapa tidak ? (Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis dan pemerhati kuliner.)