Jakarta, channelsatu.com: Kendati musik jazz bukan berasal dari Indonesia, justru kelahiran Amerika Serikat, namun di negeri yang tercinta ini, jazz mendapat tempat terhormat, dan sampai menyusup ke pedesaan. Malah bukan tidak mungkin bakal menggusur musik dangdut yang diklaim merupakan musik tulen Indonesia.
Pementasan jazz di pedesaan sempat berlangsung di Desa Wisata Sidoakur, Sidokarto, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, pertengahan November 2013, terbukti meriah. Ribuan pencinta musik jazz dari Yogyakarta dan sekitarnya tidak beranjak meninggalkan arena musik meski hujan terus mengguyur.
Tidak hanya pemusik jazz Indonesia yang tampil, seperti Chaseiro yang dikomandoi Chandra Darusman dan Idang Rasjidi, melainkan pemusik jazz dari Prancis, Erik Truffaz, serta grup jazz Baraka dari Jepang. Musik Jazz masuk Desa Sidoakur itu digelar sejak siang hingga tengah malam.
Apa arti semua itu tentang musik jazz yang perkembangannya di Indonesia malah menjadi misi khusus untuk memajukan dunia pariwisata? Tentu hal ini tidak diingkari Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar. Menurut Sapta Nirwandar, musik, tidak terkecuali jazz, punya kekuatan menjaring wisatawan.
“Melalui musik, termasuk musik jazz, kepariwisata Indonesia bisa menjadi destinasi menarik bagi wisatawan mancanegara. Coba cermati Java Jazz Festival atau ASEAN Jazz di Batam yang sudah keenam kali (2013) diselenggarakan, dari tahun ke tahun jumlah penonton asing terus meningkat, dan setiap acara itu digelar hotel maupun restoran selalu dipenuhi wisman, Wisatawan Nusantara, “kata Sapta Nirwandar kepada Channelsatu.com beberapa waktu lalu.
Sekarang ini pementasan musik jazz di Indonesia sudah menyebar. Pertumbuhan festival jazz juga meluas di sejumlah destinasi di Indonesia. Berdasarkan hitungan Channelsatu.com, di Indonesia, setiap tahun (2013) ada 46 kali pertunjukan musik jazz. Artinya pementasan musik jazz di Indonesia merupakan terpadat di dunia.
Artinya lagi musisi jazz dari berbagai belahan negara di dunia yang naik panggung pasti bertambah. Paling tidak kian meningkat yang tampil, sehingga para musisi jazz dari macam-macam negara itu akan mengajak koleganya untuk datang ke Indonesia.Bisa lumayan jumlahnya turis asing yang datang ke Indonesia, lantaran pementasan musik jazz, misalnya dimulai Festival Jazz Ambon setiap bulan September, North Sumatera Jazz Festival juga September, dan Festival Jazz Bunaken di Selawesi setiap Juli.
Belum lagi pementasan Jazz Gunung atau Jazz on Bromo,bertaraf internasional, yang menampilkan harmonisasi antara musik jazz dan etnik. Jazz Gunung ini yang pada tahun 2013 diselenggarakan pada bulan September, pernah digelar pada bulan Juli, memiliki konsep unik yang pernah ada di Indonesia malah di dunia. Pasalnya diadakan di daerah pegunungan pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, di panggung terbuka yang beratapkan langit dan berlatar pemandangan alam Gunung Bromo.
Jelas sekali Jazz Gunung salah satu bentuk promosi pariwisata melalui musik jazz. Kehadiran Jazz Gunung memang diharapkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong dialog kemanusian serta memperkaya peradaban Indonesia. Alam Gunung Bromo dan Pegunungan Tengger, tentunya bersama warga dan tradisi di sekitarnya, menjadi spirit utama yang menaungi pemusik dan pengunjung. Sejatinya, begitulah wujud pencerahan yang hakiki tatkala menonton Jazz Gunung.
Alam, udara sejuk, hawa segar, aroma, embun, rumput, awan, langit biru, satwa, dan dengan sendirinya Gunung Bromo adalah bagian yang tidak terpisahkan dari geliat maupun presentasi seniman jazz. Penonton tidak cuma mendapat pengalaman auditif dari musik. Melainkan pula lebih dari itu, betapa penonton bakal mengenali secara lebih intens alam Bromo yang tenang dan damai.
Tidak kalah menariknya adalah Ubud Village Jazz Festival, digelar bulan Agustus, yang tahun 2013 Di Museum Arma, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Para pemusik yang tampil dengan semangat green festival, di antaranya dengan menghemat listrik, lampu dan dekorasi festival.
Ubud Village Jazz Festival ini didominasi jazz era 1940-1950. Kenapa? Karena ingin mengembalikan muamsa jazz yang sesungguhnya. Maklum panggung jazz, saat ini terlalu diwarnai dengan hal yang modern, dan Ubud dijadikan lokasi sebab mewakili pariwisata. Artis jazz yang tampil di pementasan itu, Dewa Budjana, Balawan, Peter Beets Trio (Belanda), Yokohama Association Of Artist (Jepang) dan Uwe Plath (Jerman).
Selain pementasan jazz, Ubud Village Jazz Festifal juga mengadakan workshop dan berbagi ilmu maupun pengalanman. Yang tampil: Nyoman Windha, pakar gamelan Bali, Uwe Plath, pemusik jazz, dan Ben van den Dungen, pakar jazz dari Belanda. Setidaknya melalui acara semacam workshop para musisi yang tampil dan penonton, bisa mendapat ilmu maupun berbagi pengalaman dalam bermusik, teristimewa musik jazz. Jadi tidak dipungkiri semakin banyak festival jazz di Tanah Air, kian luas berkesempatan masyarakat mengapresiasi musik jenis ini.
Musik jazz memang sering disebut sebagai satu-satunya bentuk kesenian asli Amerika Serikat, musik klasik Amerika Serikat, dan musik abad kedua puluh yang tidak tertandingi. Di luar aklamasi seperti itu, nyatanya musik jazz yang jelas-jelas bukan berasal dari Indonesia, akhirnya menjadi musik istimewa serta dihormati. Masyarakat pedesaan di Tanah Air pun menyenangi musik jazz. Ya, tidak ada yang salah untuk perkara musik jazz, warga pedesaan bisa lebih memahami dan menikmati. (Syamsudin Noer Moenadi, Redaktur Channelsatu.com yang gemar musik jazz, serta esais). Foto: ist.