Jakarta, channelsatu.com: Dipenghujung tahun 2015 ini, rumah produksi Starvision coba memberikan hiburan yang berbeda untuk pecinta film nasional. Judul filmnya “Ngenest” yang diangkat dari trilogi buku best seller karya Ernest Prakasa dengan judul yang sama.
Alasan sang produser Chand Parwez Servia menuangkan kisah film ini ke dalam film, karena buku yang ditulis Ernest tersebut, isinya menghibur, inspiratif serta cerdas mengangkat isu asimilasi dan harmonisasi dalam masyarakat kita yang hetrogen. “Hasilnya, Ngenest kadang hidup perlu ditertawakan jadi film yang sarat komedi, tetapi menohok dengan drama yang mencerahkan. Banyak quote dari pesan inspiratif yang bisa dibawa pulang setelah menontonnya,” tutur Parwez yang mempercayakan pengarapanya pada Ernest sekaligus jadi bintang utama, penulis skenario dan juga sutradara dalam film ini.
Tentu keputusan yang tepat mengajak Ernest bekerja sama dalam ini, memang tidak keliru bagi Starvision. Apa lagi film ini didukung bintang-bintang komika, seperti Ge Pamungkas, Lolox Ahmad, Adjis Doaibu, Awwe, Arie Kriting yang memperkuat untuk membangun kelucuan demi kelucuan yang ringan. Ditambah Kevin Anggara, Brandon Salim, Ferry Salim, Olga Lydia, Lala Karmela, Morgan Oey, serta Ernest sebagai pelakon utama, kisah yang sepenuhnya sarat dengan kritik keberadaan diri sendiri yang dipersalahkan jadi full komedi yang asyik selama 91 menit.
Benang merah kisah ini menurut Ernest adalah, tentang seorang pria keturunan Cina yang ingin berbaur dengan pribumi sehingga ia menikahi seorang perempuan pribumi, dikemas dengan ringan dan jenaka. “Sebagai komedian, saya gigih memperjuangkan agar komedi menjadi bagian integral dari naskah ini, bukan hanya sebagai sempalan yang hanya membumbui,” ujar Ernest tentang kemasan film ini yang hasilnya memuaskan Parwez selaku produser.
“Melihat hasil akhir Ngenest Kadang Hidup Perlu ditertawakan saya bahagia. Saya berharap film ini akan jadi hiburan cerdas yang bisa dinikmati keluarga di akhir tahun,” tambah Parwez.
Intinya, NGENEST menceritakan tentang Ernest, seorang pria keturunan Cina yang merasakan beratnya terlahir sebagai minoritas yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya sejak dia masih SD. Menjadi korban bully membuatnya bertekad bahwa keturunannya kelak tidak boleh mengalami nasib yang sama. Untuk itu, ia berikrar untuk menikahi perempuan pribumi, dengan harapan agar anaknya kelak tidak mengalami kemalangan yang ia alami.
Lengkapnya kisah dibuka dengan Ernest sebagai anak dari pasangan suami istri keturunan Cina. Penampilan fisiknya cukup mencerminkan orang Cina kebanyakan. Kulit putih, mata sipit. Dan ternyata, terlahir dengan mata sipit dan kulit putih menjadi kerugian baginya.
Sejak hari pertama menginjakkan kaki di SD, ia langsung dibully. Hal ini berlanjut terus hingga SMP. Di SMP, ia mencoba cara yang berbeda, yakni berusaha berkawan dengan para pembully, dengan harapan bila ia berhasil berbaur, maka ia tidak akan jadi korban bully. Sayangnya, cara ini pun gagal. Akhirnya Ernest berpikir bahwa ini adalah nasib yang harus ia terima. Tapi ia sadar bahwa ini tidak harus dialami oleh keturunannya kelak. Ia harus memutus mata rantai, dengan cara menikahi seorang perempuan pribumi, dengan harapan kelak ia akan memiliki seorang anak pribumi. Rencana ini ditentang oleh sahabatnya sejak SD, Patrick, yang merasa cita-cita Ernest ini aneh.
Di tahun ketiga ia kuliah, barulah ia berkenalan dengan Meira, seorang gadis Sunda/Jawa yang seiman dengannya. Perkenalan mereka berlangsung cukup mulus, tapi masalah timbul saat Ernest bertemu dengan ayah Meira yang sama sekali tidak menyukai anaknya berpacaran dengan seorang Cina, karena ia pernah nyaris bangkrut akibat ditipu oleh rekan bisnisnya yang juga Cina. Tapi akhirnya Ernest berhasil memenangkan hati putih menjadi kerugian baginya.
Sejak hari pertama menginjakkan kaki di SD, ia langsung dibully. Hal ini berlanjut terus hingga SMP. Di SMP, ia mencoba cara yang berbeda, yakni berusaha berkawan dengan para pembully, dengan harapan bila ia berhasil berbaur, maka ia tidak akan jadi korban bully. Sayangnya, cara ini pun gagal. Akhirnya Ernest berpikir bahwa ini adalah nasib yang harus ia terima. Tapi ia sadar bahwa ini tidak harus dialami oleh keturunannya kelak. Ia harus memutus mata rantai, dengan cara menikahi seorang perempuan pribumi, dengan harapan kelak ia akan memiliki seorang anak pribumi. Rencana ini ditentang oleh sahabatnya sejak SD, Patrick, yang merasa cita-cita Ernest ini aneh.
Di tahun ketiga ia kuliah, barulah ia berkenalan dengan Meira, seorang gadis Sunda/Jawa yang seiman dengannya. Perkenalan mereka berlangsung cukup mulus, tapi masalah timbul saat Ernest bertemu dengan ayah Meira yang sama sekali tidak menyukai anaknya berpacaran dengan seorang Cina, karena ia pernah nyaris bangkrut akibat ditipu oleh rekan bisnisnya yang juga Cina. Tapi akhirnya Ernest berhasil memenangkan hati calon mertuanya, dan setelah berpacaran selama lima tahun, mereka menikah.
Setelah menikah, ternyata Ernest memiliki kekuatiran. Bagaimana bila kelak anak mereka terlahir persis sang ayah? Bagaimana bila ia tetap gagal mencegah anaknya dari bullying? Segala ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda keinginan memiliki anak. Di sisi lain, Meira yang sudah didesak orangtuanya juga, ingin segera memiliki anak. Setelah melalui berbagai pertengkaran, akhirnya Ernest mengalah karena takut kehilangan Meira. Dua tahun setelah menikah, Meira hamil.
Semakin membesar perut Meira, semakin besar rasa takut yang menghantui Ernest. Puncaknya ketika Meira sudah mendekati tenggat melahirkan, tekanan semakin tinggi, Ernest pun stress sehingga melakukan kesalahan besar di kantor yang membuatnya dimaki oleh boss. Tidak kuat menghadapi tekanan bertubi-tubi, Ernest melarikan diri ke tempat di mana ia dan Patrick biasa bersembunyi selagi mereka kecil.
Akhirnya Patrick menemukan Ernest di sana, dan menyadarkan Ernest untuk segera ke rumah sakit. Dengan terbirit-birit, Ernest berangkat ke RS dan menemani Meira melahirkan. Meira pun melahirkan seorang bayi perempuan bermata sipit. Meski anaknya tampak sangat Cina seperti ayahnya, tapi Ernest sangat bahagia. Kehadiran anaknya telah memberinya begitu banyak kehangatan yang membawa keberanian untuk menghadapi hidup, apa pun tantangannya. (Ibra)