Dieng, channelsatu.com: Nun jauh di sana, jauh dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta, di kawasan Daerah Tinggi Dieng, suatu kawasan wisata seluas 22.500 hektar yang kaya dengan peninggalan candi-candi masa lalu dan lahan pertanian yang subur, siapa yang menyangka dan menduga terselenggara festival film.
Insan perfilman, termasuk juga kalangan pendidik yang diminta untuk menjadi juri terperangah dan tidak percaya bahwa ada Festival Film Dieng (FFD). Sepertinya tidak masuk akal. Pasalnya panitia penyelenggara tidak gencar melakukan promosi maupun publikasi yang gegap gempita.
Biaya festival pun bersifat gotong royong, tidak ada kucuran dari pemegang otoritas perfilman Indonesia, termasuk juga pemerintah daerah. Juga tidak ada sponsor. Pokoknya festival ini, “Dari rakyat untuk rakyat. Rakyat di sini maksudnya orang–orang pencinta film, yang mencintai film secara tulus, tidak terkecuali pembuat film yang berasal dari daerah, yaitu daerah Wonosobo. Untuk itu, janganlah menghalangi kami untuk tidak membikin festival film.“
Bagi kami pernyataan tersebut bisa diartikan merendah sekaligus kepongahan. Namun pernyataan itu adalah sesungguhnya bentuk perlawanan positif di tengah kusutnya dunia perfilman Indonesia saat ini. Bisa dibayangkan di daerah Wonosobo tidak ada gedung bioskop, dan siapa yang mau membangun gedung bioskop di sana di kawasan yang berada diketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, berhawa dingin, jelaslah akan menanggung kerugian? Sementara gedung bioskop hanya terpusat di kota-kota besar, itupun di pusat perbelanjaan mewah.
Artinya penonton film, pastinya pula penonton film Indonesia ialah orang berada, yang punya duit, bukan orang pedesaan atau petani atau peternak. Penonton film Indonesia, yang nonton di gedung bioskop tentu sudah bisa ditebak, mereka adalah kaum muda yang sanggup mengeluarkan uang seratus ribu rupiah (berdua dengan pacarnya), itupun belum biaya parkir, jika punya mobil atau motor, dan bagi yang datang dengan kedaraan umum, jelas terbebani ongkos naik taksi atau angkot.
Barangkali itulah yang membuat para juri FFD merenung untuk memahami, betapa industri perfilman Indonesia memang bergulir secara terputus putus disertai dengan langkah tergagap-gagap dan terpatah-patah. Tidak bergerak intergral, serta tidak merata, justru industri perfilman Indonesia terkuasai, juga terpusat tanpa memberikan ruang apresiasi yang lebih terbuka.
Betapa bergairahnya warga daerah dalam membuat film. Terbukti peserta FFD ada yang berasal dari Provinsi Papua, juga dari Aceh. Sedangkan masyarakat Wonosobo pun bertanya-tanya bagaimana caranya untuk bisa menonton film Indonesia, seperti layaknya masyarakat kota besar lain yang memiliki gedung bioskop. Maka jika ingin ke gedung bioskop harus ke Semarang, Ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang jaraknya sekitar duaratus kilometer lebih.
Apa yang mesti dikatakan mengenai hal ini, selain hanya tersipu menyenangkan diri sendiri bahwa sebetulnya industri film Indonesia bisa digdaya (dibanding negara lain) andaikata ada yang mengayomi secara ihklas dan tulus. Maka FFD tidak lain gerakan apresiasi yang mengarah kepada ketulusan, dan soal inilah yang patut disaluti dan seyogyanya dirangkul pemegang otoritas perfilman.
Bersamaan dengan FFD, diselenggarakan bulan Juni, ada Festival Film Bandung (FFB), dan yang mendatang (biasanya diadakan bulan Desember) Festival Film Indonesia (FFI), hajatnya orang film (sejarah menyatakan demikian). Kiranya harap maklum FFI merupakan festival film paling tua, sertamerta menjadi wajar apabila mampu memberikan gengsi dalam sejarah perjalanan bangsa.
Lantas Festival Film Bandung yang tahun 2013 berusia duapuluh enam tahun, jelas-jelas prestasi tersendiri. Untuk kegiatan sebuah festival kiranya bukan perjalanan yang gampang. Apalagi diselenggarakan tanpa putus alias terus menerus saban tahun. Perlu diketahui FFI saja yang telak-telak dikelola orang-orang film malah sempat absen beberapa tahun.
Tanpa mengurangi arti serta peran : FFB, FFD, dan FFI adalah upaya yang layak didukung semua pihak. Kegiatan festival film sejatinya kegiatan apresiasi, itulah rohnya. Menciptakan apresiasi dari hulu sampai hilir. Dan semuanya itu untuk membangun industri (yang sehat) perfilman Indonesia. Jaya dan majulah film Indonesia. (Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis, dosen di beberapa Perguruan Tinggi, dan pemerhati film)