Menyimak sejarah festival film di Indonesia, tidaklah diingkari seperti menyaksikan perjalananan pasang surut suatu bangsa. Sungguh menarik untuk dicermati. Betapa festival film di Indonesia memiliki catatan panjang yang penuh gejolak, mengingat pengelolaannya yang terkadang bergulir bagaikan pusaran.
Festival film di Indonesia pertama kali digelar tahun 1955 diadakan di Jakarta, dan bersifat kompetitif. Festival film itulah yang kemudian menjadi cikal bakal Festival Film Indonesia yang tujuan awalnya menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia serta menjadi momentum yang tepat untuk mengevaluasi film produksi dalam negeri selama setahun.
Selain itu Festival Film Indonesia bertujuan pula mengembangkan perindustrian film dalam negeri, memperbaiki mutu teknis atau film dan melekatkan hubungan kebudayaan serta silaturahim di antara bangsa, khusunya melalu film. Sungguh tidak berlebih-lebihan tujuan festival film itu, apalagi sesungguhnya festival ialah pesta. Pesta untuk merayakan sesuatu yang telah menyenangkan dan membahagiakan atau untuk memperingati yang berarti serta bermakna bagi kehidupan bangsa (tentunya masyarakat alias manusia).
Kata Festival berasal dari kata Latin, yakni festa atau pesta dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini merupakan kebiasaan yang dilakukan sekelompok masyarakat untuk memperingati sesuatu peristiwa yang penting dan bersejarah dalam menyelenggarakan suatu pesta atau pekan raya.
Adakalanya suatu pesta itu diadakan sampai beberapa hari bahkan sampai sebulan penuh yang diikuti oleh seluruh komunitas di suatu kota, daerah dan wilyah. Memang di dalam masyarakat modern dan hetterogen terdapat kecenderungan memfestivalkan segala.
Setiap komunitas masyarakat mempunyai nilai sendiri dan kiranya berhak mengadakan pesta yang punya arti bagi komunitasnya. Sebaliknya festival komunitas tersebut belum tentu bermakna bagi komunitas lain. Misalnya festival bunga yang diselenggarakan pengemar bunga, bisa jadi tidak bakal menarik bagi komunitas film.
Bagaimana dengan festival film? Haruslah dicatat adalah salah satu pesta dalam masyarakat modern dan heterogen. Di luar negeri, mungkin pula di Indonesia bakal terjadi, hampir sepanjang tahun diadakan festival film di berbagai negara dan kota. Semula festival film sebagai ajang apresiasi dan lomba alias kompetitif, lantas kemudian bergeser menjadi media promosi. Semacam bazar. Sertamerta banyak festival film yang semula merupakan pesta budaya, namun akhirnya menjadi pesta komersial belaka.
Lantas mengenai Festival Film Indonesia yang pertama kali digelar tahun 1955? Tahun 1956 hingga 1959 Festival Film Indonesias (FFI) tidak lagi diselenggarakan sehingga terjadi kevakuman. Tahun 1960 diselenggarakan kembali, namun terhenti lagi hingga 1967 sebelum aktif kembali.
Bisa di mengerti banyaknya tahun yang vakum dalam penyelenggaraan FFI tentu saja akibat kondisi politik yang tidak menentu saat itu. Penyelenggara FFI tahun 1955. 1960 hingga tahun 1967, sering disebut orang sebagai pra-FFI. Sedangkan yang disebut FFI baru yang diselenggarakan tahun 1973.
FFI resmi pertama yang digelar tahun 1970 dianggap berhasil. Sebab mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia serta pula dianggap memberi konstribusi terhadap meningkatkan produski fim Indonesia pada era 1970-an hingga 1980-an.
Awal FFI dimaksudkan untuk memusatkan perhatiaan masyarakat Indonesia pada karya pembuat filmnya sendiri. Setidaknya menjadikan film Indonesia tuan rumah di rumahnya sendiri (kalimat ini akhirnya menjadi jargon). Awalnya juga dalam FFI yang menjadi sorotan adalah bintang film, baca artis. Lambat laun profesi sutradara dan tenaga kreatif lainnya mendapat perhatian masyarakat.
Yang menjadi pusat dari pestanya orang film, ini sesuai dengan tradisi kebudayaan kita, unsur arak-arakan menjadi bagian penting. Kenapa? Ini untuk menimbulkan kesadaran bahwa film Indonesia ada. Siapa yang percaya, mada waktu itu. Ribuan massa datang melihat bintang film Indonesia.
Sekarang ini, zaman digital sudah tiba dan telah merasuk pada jiwa kita, maka segalanya sudah berubah. Peta dunia sudah menjadi datar, dan tidak mungkin bisa ditutupi-tutupi. Lalu untuk saat ini apakah perlu ada arak-arakan dalam FFI (kalau diadakan pada tahun 2013), walau hanya demi mempertegas film Indonesia ada ?
Masalah arak-arakan tidaklah penting-penting benar. Justru yang lebih penting, dan ini kiranya perlu suatu survei adalah lunturnya kepercayaan publik terhadap FFI. Betul-betul publik sekarang ini sudah ogah dengan suguhan FFI. Masalah ini jelas membuat kita prihatin. Insan perfilman pasti mengelus dada. Karenanya diperlukan penelitian yang mendalam. Saya punya data lama (kendati tetap aktual) berdasarkan penelitian Tina Prawirakusuma dari FISIP UI, tahun 1979, yang memperlihatkan bahwa golongan menengah keatas sangat tidak berminat pada film Indonesia lantaran jauh di bawah seleranya. Dan golongan ini, singkatnya, tidak menggubris (ada maupun tidak ada) FFI diselenggarakan.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1989, Narinda Kamaruddin juga dari FISIP UI kian menggaris bawahi kelas menengah ke atas enggan menonton film Indonesia. Penelitian ini pun memperlihatkan resensi film ataupun tulisan yang berkaitan dengan film, tidak terkecuali kritik film, tak mendongkrak kelas menengah untuk menyaksikan film Indonesia, apalagi mengikuti secara serius FFI.
Penelitian tentang apakah sungguh sungguh Orang Indonesia menonton film Indonesia hendaknya dan harus dilakukan. Juga penelitian mengenai apakah penyelenggaraan FFI begitu efektif dalam menarik minat masyarakat untuk menonton film Indonesia? Buat apa menyelenggarakan FFI hanya cuma sekadar berpesta? Berbagai pertanyaan muncul satu persatu, yang semuanya jelas membutuhkan solusi, sekaligus ironi.
Sepengetahuan saya festival film di luar negeri, siapapun bisa menonton film yang difestivalkan di semua bioskop. Berdasarakan pengamatan dan pengalaman, pada FFI yang menonton hanyalah tim seleksi dan para juri. Itulah yang membuat masyarakat tidak bergiming, ditambah lagi publikasi yang minim. Akibatnya, masyarakat (boleh jadi) sudah tidak punya kepercayaan pada FFI. Akhirnya kami hanya bisa mengelus–elus dada untuk masalah ini. Duh, FFI. (Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis, pemerhati media, dan redaktur ChannnelSatu.Com )