Jakarta, channelsatu.com: Jika pertanyaan yang dipasang sebagai judul artikel, dicuatkan kepada publik, teristimewa kalangan perfilman, yakni : Masih perlukah Festival Film Indonesia (FFI) diadakan?
Maka jawabannya sangat gampang dan mudah, adalah : Masih perlu diadakan.
Tentu jawaban yang tidak mengada-ada, namun FFI jelas-jelas merupakan titik tolak ukuran alias pencapaian. Suatu barometer dalam suatu perjalanan perfilman Indonesia. Setidaknya dengan diadakan FFI kualitas akan terukur. Sebaliknya kenapa FFI selalu mendapat cibiran, cemooh, bahkan tuding menuding entah hal itu mengenai acara puncak (pemberian Piala Citra) maupun tidak tersosialisasinya kegiatan tersebut, yang terasa sepi senyap pemberitaannya.
Kiraanya cemooh, cibiran, demikian pula termasuk perkara tuding menuding itu, merupakan sesuatu yang lumrah, wajar, selama penyelenggaraan pada waktu mendatang bisa dikelola lebih baik. Di dunia ini, tidak terkecuali peristiwa (macam) festival, tidak ada sesuatu yang sempurna. Untuk itulah, yang dituntut dalam suatu event, katakanlah festival film di Tanah Air yang setiap bulannya pasti ada festival film, adalah menuju kesempurnaan.
Dus, dengan menuju kesempurnaan tersebut, evaluasi, perbaikan, serta masukan, mau tidak mau mesti dilakukan. Dan pada tahun ini (2013), pemangku kepentingan sudah melakukan evaluasi secara hati-hari, kendati tidak digembar-gemborkan. Paling tidak secepatnya akan terbentuk tim kerja, itu pasti. Mengingat FFI selalu diadakan pada bulan Desember. Bisa awal, tengah, atau di akhir bulan.
Pemangku kepentingan sesungguhnya sudah ngopeni dunia perfilman. Malah melalui dua kementerian. Ini sesuatu yang pertama kali terjadi di suatu negara yang ada dunia. Alasan kenapa di bawah naungan dua kementerian? Harap dipahami dengan rasa maklum, bahwa perfilman memiliki fungsi strategis baik dari aspek sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, hiburan, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Tidak usah diperpanjangkan mengapa perfilman di negeri tercinta ini ditangani dua kementerian. Harap maklum saja untuk mengurainya, supaya tidak terjadi perdebatan. Sebaliknya ditangani dua kementeria, diharapkan sekali akan terjadi sinergi. Film sebagai karya budaya, terus didorong agar menjadi industri mandiri, serta memberi nilai tambah ekonomi pada masyarakat. Tetapi film juga harus tetap membangun kesadaran kolektif untuk memahami diri dan karakter bangsa yang sebenarnya.
Ditangani dua kementerian suatu tanda betapa masalah perfilman demikian penting bagi suatu negara. Semoga semuanya itu tidak berlebihan dalam ngopeni (merawatnya). Sekali lagi perihal bersinergi perlu terus menerus digarisbawahi, agar tidak saling mendahului.
Memang ibarat mesin turbo, dua kementerian bergabung tentu CC-nya harus nambah. Jangan sama saja. Selayaknya film Indonesia harus maju lebih cepat. Bagaimana dengan kenyataannya? Laju perfilman masih tertatih-tatih, masih mencari wajah, dan belum sampai pada skala industri sesungguhnya (kendati bukan industri rumahan).
Bagaimanapun akhirnya, FFI tetap diperlukan, juga sejatinya dibutuhkan. Sebab orang film sendiri pasti ingin dihargai dan ingin pula memperoleh penghargaan yang bergengsi, dan tidak bisa dipungkiri FFI yang memiliki sejarah perjalanan panjang, penuh pasang surut, adalah barometer yang bermartabat.
FFI sudah menjadi ikon sekaligus merek yang tidak bisa diganggu gugat (FFI pun akhirnya disaingi), dan lantaran itulah FFI perlu diadakan setiap tahun secara ajeg. Tunggu saja tanggal main FFI. ( Syamsudin Noer Moenadi, jurnalis, praktisi PR, dan pernah menjabat Ketua Bidang Penjurian Film Bioskop FFI 2012 ) Foto: Ilustrasi.