Home / Cermin / Siraman Rohani

Siraman Rohani

Fenomena Sumpah Pocong dan Mubahalah, Ini Penjelasan Menurut Islam

Jakarta, Channelsatu.com-Ramai mengenai sumpah pocong yang saat ini mengemuka setelah pihak Saka Tatal, mantan terpidana dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon dan Eky, mengaku yakin Saka Tatal itu tidak bersalah dan agar menjalani sumpah pocong.

Lalu bagaimana Islam menjelaskan tentang fenomena sumpah pocong ini dan adanya mubahalah. Channelsatu.com mengutip dari situs muhammadiyah.or.id, Jumat (9/8/2024), sumpah yang dalam Islam disebut dengan al Yamin atau al Hilfu atau al Qasam, memang dikenal dan ada landasannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi.

Dijelaskan bahwa sumpah pocong sebenarnya hanya tradisi lokal Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan proses sumpahnya. Sedangkan dari isi sumpahnya bisa saja tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.

Mengenai penggunaan atau pemakaian sumpah ini, secara garis besarnya ada dua macam, yaitu: pertama, sumpah di luar pengadilan; kedua, sumpah yang dilakukan di pengadilan dalam proses berperkara.

Sumpah jenis pertama biasa dilakukan adakalanya untuk menyangkal ketidakbenaran yang disampaikan atau dikatakan oleh orang lain, atau untuk meyelesaikan perselisihan. Kadang-kadang juga sumpah itu diucapkan untuk menandaskan bahwa apa yang disampaikan/diucapkan itu sesuatu yang benar.

Orang Arab adalah orang yang gemar bersumpah, untuk memulai pembicaraan saja agar pembicaraannya itu didengar orang atau diperhatikan orang, ia memulai dengan sumpah. Dalam bersumpah mereka biasa bersumpah dengan apapun, dengan leluhurannya, dengan pohon, dengan benda-benda lain. Untuk itu Nabi Muhammad SAW mengarahkan agar sumpah itu mempunyai makna, maka dalam bersumpah hendaknya mempergunakan nama Allah.

Dalam riwayat Abu Dawud dan an Nasai dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian dan jangan pula dengan nama ibu-ibu kalian, jangan pula dengan nama patung-patung, dan janganlah bersumpah kecuali dengan nama Allah dan janganlah bersumpah kecuali kalian benar (apa yang disumpahkan)”. (HR Abu Dawud).

Ilustrasi bersumpah. Foto/Baznas
Ilustrasi bersumpah. Foto/Baznas

Dari hadis di atas ada dua hal yang berkaitan dengan sumpah, pertama sumpah itu harus menggunakan nama Allah, seperti Wallahi, Demi Allah; kedua bahwa yang disampaikan itu sesuatu yang benar. “Jangan sampai sumpah itu untuk main-main atau sumpah itu dijadikan sebagai sarana mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mendzalimi orang lain.” (QS. an Nahl: 94).

Dalam hadis al Bukhari dari Abdullah bin Amr bahwa menurut Nabi saw di antara dosa besar itu adalah sumpah bohong. Nabi bersabda: Artinya: “Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh, dan bersumpah bohong.” (HR. Bukhari).

Sementara sumpah di pengadilan adalah sumpah dalam proses berperkara. Sumpah di sini mungkin diperintahkan oleh hakim karena alat bukti kurang, sehingga memerlukan bukti tambahan, atau sumpah itu sebagai pemutus (yamin ‘ala al-bat/decissiore eed) yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas permintaan pihak lainnya dan karena tidak ada alat bukti sama sekali yang mendukung.

Apabila sumpah ini diizinkan oleh hakim dan diterima oleh pihak lain, maka pihak yang mau bersumpah dimenangkan perkaranya. Logikanya kalau memang seseorang itu benar, tentulah ia tidak berkeberatan untuk mengucapkan sumpah.

Mengenai Sumpah Pocong

Berkaitan dengan sumpah sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan, Islam membolehkan menyelesaikan perselisihan dengan sumpah yang dilakukan di luar pengadilan. Sumpah pocong sendiri, dilihat dari caranya sumpah ini adalah sebagai tradisi orang Indonesia, dalam Islam tidak dikenal model sumpah semacam ini.

Sekalipun isi sumpah pocong itu mungkin tidak bertentangan dengan isi sumpah pada umumnya, seperti menggunakan kata-kata Demi Allah, dan materinya sesuatu yang sesuatu yang disepakati bersama, yang adakalanya kedua belah sama-sama siap menerima kutukan Allah apabila yang ia katakan itu bohong atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Akan tetapi dilihat dari tata cara sumpahnya, yaitu orang yang bersumpah pocong itu dibungkus dengan kain kafan seakan-akan ia telah meninggal dunia (mungkin juga dimandikan dahulu), maka perlu dipertanyakan lebih lanjut kebolehannya.

Sebenarnya kalau hanya sekadar mengenakan kain kafan bagi yang melakukan sumpah, tidaklah dilarang, akan tetapi dengan mengenakan kain kafan itu ada makna filosofisnya atau makna kejiwaannya terutama di kalangan orang Jawa, yaitu orang takut akan kuwalat.

Sehingga yang ditakuti bukan isi sumpahnya, melainkan makna dari alat untuk bersumpah. Apabila ia diterima, berarti ada pengikisan iman, karena orang bukan takut kepada Allah tetapi takut kepada orang lain.

Dalam ajaran Islam hal demikian tidak diperbolehkan supaya orang tidak jatuh kepada perbuatan syirik. Oleh karena terkandung makna demikian, maka Majelis Tarjih berpendapat sumpah pocong itu tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu, janganlah digunakan model sumpah pocong, tetapi gunakanlah cara biasa. Adapun mengenai isi sumpahnya (dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip sumpah di atas) maka boleh saja sumpah yang isinya saling mengutuk atau siap menerima kutukan Allah (sumpah pocong pun isinya ada yang mencantumkan sama-sama siap menerima kutukan Allah).

Hukum Mubahalah

Dalam Islam, sumpah demikian dikenal dengan istilah mubahalah, yaitu sumpah yang berat, karena sama-sama siap menerima kutukan Allah. Sumpah demikian dilakukan untuk mempertahankan keyakinan masing-masing pihak yang bersengketa setelah dicari cara pemecahan perselisihan dan tidak ada yang mau mengalah, karena menganggap sama-sama berada di pihak yang benar, lalu bersumpah biarlah Allah swt menurunkan kutuk laknat-Nya kepada siapa yang bertahan pada pendiriannya yang salah.

Inilah yang dimaksud dalam firman Allah surat ali Imran ayat 61: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (ali Imran : 61).

Menurut riwayat, ajakan mubahalah di atas diajukan Rasulullah saw kepada utusan Najran yang mempertahankan bahwa Isa Almasih adalah Putera Allah, tetapi mereka tidak bersedia.

Selain didasarkan kepada ayat 61 surat Ali Imran, landasan kebolehan sumpah yang isinya siap menerima kutukan Allah, adalah QS An Nur (24) ayat 6-9 mengenai Li’an, yaitu suami yang menuduh isterinya berbuat zina, tetapi tidak mempunyai saksi kecuali dirinya sendiri, sementara istri pun menolak tuduhan suaminya itu, maka cara penyelesaiannya ialah dengan cara bersumpah sebanyak lima kali, dan di antara isi sumpahnya siap menerima kutukan Allah.

Suami bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia orang yang benar dan sumpah yang kelima menyatakan bahwa ia siap menerima laknat Allah apabila ia berdusta. Isteri juga bersumpah lima kali, empat kali sumpah dengan nama Allah bahwa suaminya itu berdusta, dan sumpah yang kelimanya bahwa ia siap menerima laknat Allah apabila suaminya benar.

Sekalipun Islam membolehkan melakukan mubahalah, sumpah yang berat, akan tetapi mengingat isinya itu begitu menyeramkan, terutama bagi orang yang beriman, yang tidak seorang pun mau menerima kutukan Allah.

Dalam hal ini Majelis Tarjih Muhammadiyah mengusulkan agar dalam meyelesaikan kasus sebaiknya menghindari cara penyelesaian dengan menggunakan sumpah seperti di atas.

“Carilah penyelesaian dengan cara lain, asal sama-sama berkepala dingin insya Alah dapat diselesaikan. Demikian juga jangan sampai karena gengsi lalu tidak mau mengakui kesalahan bahkan siap bersumpah. Tindakan demikian adalah tindakan yang dikecam oleh hadis di atas,” tutupnya. (Fjr)

Kunjungi Indonesia, Grand Syekh Al Azhar Apresiasi Bela Palestina dan Serukan Kerukunan Umat

Jakarta, Channelsatu.com-Grand Syekh atau Imam Besar Al Azhar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb melakukan kunjungan kehormatan ke Indonesia. Salah satu agendanya adalah memberikan kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (9/7/2024).

Grand Syekh yang juga Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM) tersebut mengapresiasi langkah Indonesia membela Palestina dan menyerukan kerukunan umat beragama.

Grand Syekh dalam kuliah umumnya menyeru pentingnya persatuan dan tidak tertipu dengan propaganda yang ingin memecah belah umat Islam dengan berbagai cara. Grand Syekh mengingatkan umat Islam untuk tidak menjadi umat yang inferior. “Umat Islam adalah umat besar yang telah berkontribusi besar terhadap peradaban dunia,” papar Prof Ath-Thayyeb.

imam al azhar 2

Tampak hadir mantan Menag Prof Quraish Shihab, MA, Sekjen Kemenag M Ali Ramdhani beserta pejabat Eselon I dan II Kemenag, serta Rektor UIN Jakarta, Prof Asep Saufuddin Jahar. Acara ini juga dihadiri ribuan pengunjung yang memadati Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta. Selain jajaran pejabat Eselon I dan II Kemenag bersama civitas academica UIN Jakarta, hadir juga para Rektor PTKN, alumni Al Azhar, serta mahasiswa.

Menurut Grand Syekh, perpecahan itu sering lahir dari lisan dan pena para dai yang tidak memahami prioritas dan fiqih ikhtilaf (perbedaan). “Mereka yang sibuk dengan perkara-perkara khilafiyah tapi lupa dengan isu-isu keumatan yang utama seperti isu Palestina, isu kemiskinan, dekadensi moral dan lain sebagainya,” ungkap Prof Ath-Thayyeb.

Mudah Menyalahkan dan Mengkafirkan

Grand Syekh menyatakan, umat harus diingatkan agar terhindar dari orientasi baru yang menolak ajaran empat mazhab. “Mereka membuat fikih baru, mereka mudah menyalahkan dan bahkan mengkafirkan yang tidak sependapat dengan mereka,” tutur Syekh.

Untuk menekankan hal ini, Grand Syekh, mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Al-Bukhari yang menjelaskan bahwa apabila seseorang memiliki tiga kriteria ini maka dia adalah muslim dan tidak boleh dikafirkan.

“Yaitu, pertama yang salat sama seperti kita salat kita, kedua yang menghadap kiblat kita, dan ketiga yang makan sembelihan kita,” ungkapnya.

Grand Syekh menyeru umat Islam untuk menjaga kerukunan umat beragama, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat di mana mereka menghormati keyakinan agama lain.

“Menghormati tidak sama dengan meyakini. Yang kita lakukan adalah menghormati meskipun tetap keyakinan itu masing-masing,” kata Prof. Ath-Thayyeb.

Grand Syekh menuturkan bahwa umat Islam saat ini harus bergerak untuk beramal, bukan hanya pintar berbicara tetapi mengamalkannya. “Seribu khutbah tidak akan menyelesaikan masalah tapi satu aksi bisa menyelesaikan seribu masalah,” tuturnya.

Moderasi Beragama

Alumni Al Azhar dan mantan Rektor UIN Jakarta Prof M Quraish Shihab berbicara tentang moderasi beragama. Menurutnya, manifestasi nilai moderasi beragama di Indonesia bisa dilihat dari bentuk negara Indonesia.

“Indonesia tidak berbentuk negara sekuler dan juga tidak berbentuk negara agama, tapi negara Pancasila yang sila pertamanya adalah tauhid,” papar Prof Quraish.

Menurut Prof Quraish, manifestasi yang kedua adalah kelapangan dada para founding father yang Muslim dan para ulama ketika itu, saat penetapan sila-sila dari Pancasila di awal kemerdekaan. “Di mana mereka rela untuk menghapus kata kewajiban menerapkan syariat Islam demi menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia yang plural dan majemuk,” ujar Guru Besar Ilmu Tafsir tersebut.

Prof Quraish mengutarakan bahwa untuk bersikap moderat dibutuhkan ilmu. Menurutnya, ada tiga hal yang berbeda yang sering dianggap sama. Pertama agama, kedua ilmu agama, dan ketiga beragama.

“Agama sudah sempurna. Ilmu agama terus berkembang dan terjadi perbedaan antara ilmu yang diketahui oleh ulama satu ulama dengan ulama yang lainnya. Beragama butuh ilmu, agar cara kita beragama benar sesuai dengan ilmu, maka kiblat ilmu yang benar itu sudah ada yaitu Al-Azhar,” ungkapnya.

UIN Jakarta dan Al Azhar

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Asep Saepudin Jahar, mengatakan bahwa UIN Jakarta memiliki hubungan yang erat dengan Al Azhar As Syarif. Ini ditandai dengan berdirinya Fakultas Dirasat Islamiyah, di mana di fakultas ini menggunakan kurikulum yang digunakan oleh Al Azhar As-Syarif.

“Hampir seluruh dosennya adalah alumni Al Azhar,” kata Rektor.

Menurut Rektor, hubungan erat inilah yang menguatkan nilai moderasi di UIN Jakarta. Sehingga, UIN Jakarta menjadi salah satu pusat pembelajaran Islam yang moderat di Indonesia.

“Sebagaimana Al Azhar menjadi pusat pembelajaran Islam yang moderat di dunia,” ungkap Prof Asep.

Rektor berharap UIN Jakarta terus belajar dari Al Azhar untuk dapat mengembangkan ajaran Islam yang benar yang menjadi rahmat kasih sayang bagi alam semesta.

Ketua Panitia Pelaksana, Dr Yuli Yasin mengatakan, Kuliah Umum Grand Syekh Al Azhar dihadiri seribu lima ratusan orang baik dari civitas akademika UIN Jakarta, 73 Rektor Perguruan Tinggi, Pimpinan Ormas, Tokoh Masyarakat, Tokoh Lintas Agama, Para Dubes, dan alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Sebelum memberi kuliah umum di UIN, Grand Syekh diterima Presiden RI Joko Widodo. Keduanya juga mendiskusikan penyelesaian konflik di Gaza-Palestina. Grand Syekh mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia atas perjuangannya untuk membela saudara-saudara kita di Gaza Palestina dengan memperjuangkan gencatan senjata dan menyampaikan bantuan-bantuan kemanusiaan.

Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb melakukan kunjungan kali ketiga ke Indonesia. Imam Akbar tiba sejak 8 Juli dan dijadwalkan akan berada di Indonesia hingga 11 Juli 2024. (Msr)

Tukul Arwana Beri Kesejukan Lewat Salam Ramadhan RTV

Tukul Arwana. Foto: ibra
Tukul Arwana. Foto: ibra

Jakarta, channelsatu.com: Bintang komedian serba bisa, tetap kreatif dan semangat memberikan hiburan buat pemirsa televsi. Bahkan di bulan suci Ramadhan 2016 ini, hiburan yang disuguhkan Tukul tak cuma menghibur tapi penuh pencerahan dan menyejukan. Acara religi family tersebut yang langsung menghadirkan Tukul sebagai Hostnya, ada di Salam Ramadhan, yang hadir setiap hari jam 16.30 di Rajawali Televisi (RTV) sebulan penuh. Read More »